Ada Apa dengan Habib Bahar?
Oleh : Khotimi Bahri
Wakil Ketua Umum Barisan Ksatria Nusantara (BKN), Komisi Fatwa MUI Kota Bogor, Wakil Katib PCNU Kota Bogor
Habib Bahar bin Smith kembali harus berurusan dengan hukum. Ia dilaporkan oleh beberapa elemen masyarakat atas dugaan ujaran kebencian, hoax, SARA dan adu domba umat dalam salah satu ceramahnya di acara Maulid Nabi Muhammad di Bandung baru-baru ini.
Seperti dalam salah satu vidio yang viral saat mengisi acara maulid tersebut, Bahar bin Smith menyampaikan ujaran yang provokatif dan penuh kebencian, hoax dan memprovokasi hadirin untuk melakukan perlawanan terhadap aparat atas nama kedzaliman.
Pada menit ke 12, Bahar bin Smith mengatakan bahwa Habib Riziq Shihab ditangkap dan dipenjara karena melaksanakan acara Maulid di Petamburan yang menimbulkan kerumunan. Padahal faktanya, Habib Riziq Shihab ditangkap karena tidak menyampaikan informasi yang benar terkait kasusnya di RS Umi Bogor.
Tidak berhenti di situ, Bahar bin Smithpun mengatakan bahwa 6 laskar FPI telah dibunuh, dibantai dan disiksa dalam tragesi KM 50 Tol Jakarta Cikampek.
Bahar bin Smith juga mengatakan bahwa ke 6 laskar tersebut telah mendapatkan penyiksaan yang tidak manusiawi. Kulitnya dikelupas, kukunya dicopot, kemaluanya dibakar.
Semua itu sama sekali tidak sesuai dengan fakta. Karenanya Bahar bin Smith terancam undang-undang ITE
Dalam kasus ini, Habib Bahar bin Smith dijerat dugaan tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian dan atau permusuhan individu dan atau kelompok berdasarkan SARA.
Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2) UU RI Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 UU RI nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.
Fenomena dakwah yang bermuatan hoax, kebencian, adu domba, bernuansa SARA memang marak akhir-akhir ini. Pun juga para da’i yang tidak dibekali ilmu yang mumpuni seringkali kita jumpai. Dengan bermodalkan provokasi, dan penampilan yang islami justru para da’i ini memiliki banyak follower. Akhirnya panggung dakwah hanya sebatas tontonan dan kosong dari tuntunan.
Dakwah yang intinya adalah mengajak manusia ke jalan yang benar (amar ma’ruf) dan mencegah manusia dari perbuatan yang buruk (nahi munkar) harus dilaksanakan dengan cara-cara yang baik (ma’ruf) tidak boleh menggunakan cara-cara yang buruk (munkar).
Tidak kalah pentingnya, seorang da’i seharusnya menjadi teladan dalam segala hal. Teladan dalam tindak-tanduknya, teladan dalam sikapnya, teladan dalam tutur katanya. Disinilah ilmu dan akhlak mutlak diperlukan. Bukankah al-qur’an mengecam dengan keras seorang yang hanya ahli beretorika tapi jauh dari aplikasi.
Al-qur’an menjelaskan beberapa kategori ujuaran dalam berdakwah. Dengan mendalami kategorisasi ini, paling tidak kita bisa membedakan, makna pangung tabligh yang bernilai dakwah, dan mana panggung tabligh yang sema-mata provokasi serta pemecah belah umat. Substansi dari komunikasi dakwah ada pada kata qoulan karima dan qoulan ma’rufa. Ada definisi komunikasi yang disusun oleh beberapa pakar dan akademisi seperti Dr. Tata Sukayat, Ibu Tursinah, KH. Musthofa ABN, KH. Anang Rizka Masyhadi dan lain-lain. Antara lain :
- Qoulan Adzima
“Sesungguhnya kamu benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar dosanya. Dan sesungguhnya dalam Al-Quran ini Kami telah ulang-ulangi peringatan-peringatan, agar mereka selalu ingat. Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari dari kebenaran.” (Qs. Al-Isra [17]: 40-41)
Termasuk jenis ‘qaulan adzima’ adalah setiap ujaran kebencian (hatespeech), atau ujaran yang mengandung permusuhan dan penipuan. Apalagi di era digital dan arus informasi yang sangat terbuka, orang zaman ini begitu mudah mengakses informasi.
Maka, dipanggung dakwah, ataupun di media sosial, jika orang hanya menggunakannya untuk menumpahkan fitnah, caci maki dan menyebarkan ujaran-ujaran yang justru semakin menjauhkan manusia dari jalan Allah, maka hal tersebut termasuk jenis ‘qaulan adzima’, yaitu perkataan yang mengandung dosa besar.
- Qoulan Syadidan
Yaitu suatu perkataan yang lugas, langsung ke inti masalah dan mencerminkan kejernihan berpikir dari penuturnya. Atau dalam istilah Inggris disebut ‘straight to the point’.
Dalam konteks budaya Nusantara, ‘qaulan syadida’ lebih mungkin dipraktekkan oleh komunitas yang inklusif, yang umumnya jika berbicara lugas dan to the point; tidak basa basi.
- Qoulan Layyinan
Yaitu perkataan yang lembut namun mengandung nasehat. Biasanya dipraktekkan oleh suku Jawa, atau orang yang dituakan kepada orang usianya di bawahnya sebagai bentuk nasehat.
Dalam Al-Quran, ‘qaulan layyina’ digunakan untuk menasehati pemimpin yang dzalim, sebagaimana Musa dan Harun menasehati Firaun.
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Qs. Thaha [20]: 44)
- Qulan Baligha
Hampir sama dengan ‘qaulan layyina’ adalah ‘qaulan baligha’. Yaitu kata-kata yang jelas dan menyentuh hati pendengarnya. Para dai atau ulama dalam menyampaikan risalah dakwah harus jelas dan harus dapat menyentuh hati pendengarnya. Setiap tausiyah mereka adalah bagian dari ‘qaulan baligha’.
- Qoulan Tsaqilan
Ada pula yang disebut dengan ‘qaulan tsaqila’, yaitu kata-kata yang berbobot dan berat dari seorang ahli hikmah. Artinya, ‘qaulan tsaqila’ biasanya memuat sebuah konsep pemikiran yang mendalam dan memiliki bobot baik secara intelektual maupun spiritual.
‘Qaula tsaqila’ oleh Al-Quran lahir dari sebuah proses pendekatan diri kepada Allah. Yaitu dengan memperbanyak shalat malam, membaca Al-Quran, berdzikir dan bersabar menghadapi cobaan hidup. Para ulama atau para wali Allah yang telah mencapai maqom ini, maka saat berbicara perkataannya pasti berbobot dan berisi. *