Aksi Damai Global Climate Strike Diintimidasi Preman Tepat di Depan Kepolisian
Jumat, 27 September 2024, di Taman Menteng, Jakarta, sekelompok orang tak dikenal, yang lebih tepat disebut preman, melakukan intimidasi kasar terhadap peserta Global Climate Strike, yang mayoritas terdiri dari kaum muda. Sekitar pukul 13.30 WIB, mereka meneriakkan “bubar” secara berulang-ulang dan merampas sejumlah properti aksi, seperti patung manekin, poster, dan dua unit pengeras suara (toa).
Gerombolan preman ini datang dari dua arah yang berbeda, pada waktu yang berbeda pula. Ironisnya, perampasan tersebut terjadi tepat didepan aparat kepolisian yang bertugas. Alih-alih melindungi jalannya aksi damai, pihak kepolisian memilih untuk diam dan hanya menyaksikan tindak kekerasan tersebut tanpa melakukan upaya apapun untuk menghentikannya.
Meski jelas terlihat aksi intimidasi, perampasan, dan bahkan perselisihan antara premandan peserta aksi, kepolisian tetap diam tanpa mengambil tindakan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apa gunanya pemberitahuan aksi kepada polisi jika mereka tidak dapat menjamin keamanan peserta aksi Global Climate Strike? Seharusnya, keberadaan polisi bertujuan untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya, bukan sekadar menjadi penonton.
Ini menambah catatan panjang tentang bagaimana masyarakat sipil seringkali menghadapi tindakan represif dan penyalah gunaan wewenang, termasuk pembiaran terhadap kekerasan yang mengancam keamanan.Sementaraitu,aparatjustrubergerakcepatdalammelindungi kepentingan para perusak lingkungan yang turut menyumbang krisis iklim.
Peristiwa ini juga mengindikasikan semakin memburuknya ruang demokrasi di bawah kepemimpinan “Mulyono” selama 10 tahun terakhir. Ruang sipil kini diintervensi dan dimanipulasi dengan skenario pembenturan antar masyarakat yang menimbulkan konflik horizontal. Aparat kepolisian yang merupakan infrastruktur negara justru membiarkan perselisihan sipil terjadi di depan mata mereka. Ini adalah sinyal jelas bahwa ruang demokrasi akan semakin terkikis di masa depan.
Oleh karena itu, kami mengecam tindakan kekerasan struktural yang dilakukan oleh negara dengan mengutus ‘kaki tangan’-nya, yaitu gerombolan preman terhadap peserta Global Climate Strike. Sebuah bukti yang tidak bisa ditampik bahwa rezim telah mempertontonkan salah satu “7 Dosa Mematikan” yaitu Wrath. Wrath menyimbolkan Tindakan represif Raja Jawa terhadap kritik publik, penggiat iklim, dan aktivis HAM selama pemerintahannya. KontraS mencatat peningkatan kekerasan dan pelanggaran HAM oleh Kepolisian sepanjang Juli 2023-Juni 2024. Terdapat 645 peristiwa kekerasan dengan 759 korban luka dan 38 tewas, termasuk 35 kasus extrajudicial killing. Selain itu, terjadi 75 pelanggaran kebebasan sipil, seperti pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, dan intimidasi. Warisan budaya kekerasan Orde Baru, minimnya akuntabilitas, serta ego sektoral adalah penyebab utama masalah ini.
Dengan ini kami menyerukan solidaritas dari seluruh elemen gerakan untuk mendukung dan berdiri bersama para peserta aksi. Kami juga mengecam tindakan kepolisian yang tidak memberikan perlindungan dan rasa aman, serta menuntut mereka untuk melindungi setiap peserta aksi dari gangguan dan intimidasi preman.
Koalisi Global Climate Strike Jakarta:
- Jeda Iklim
- Climate Ranger
- Enter Nusantara
- 350id
- XR Indonesia
- TuK Indonesia
- WeSpeakUp
- SatyaBumi
- FFUKI
- Koalisi Pejalan Kaki
- Pedestrian Tangsel
- IYG
- WALHI
- TuKINDONESIA
- KoalisiPejalanKaki
- IndonesianYoung Greens
- SatyaBumi
- JarumDemokrasi
- TeensGoGreenIndonesia
- SeruCollective
- SanggarSeroja
- BEMFMIPAUI
- KMPLHRanita
- Lembaga Peradaban Luhur
NarahubungAksi:0896-2991-0264(Kowalski)
Editor: Wiwit Musaadah