Artikel Pustaka 

Awal Ramadhan atau Awal Syawal dari Pukulan Beduk Guru Abdullah, Kuningan, Jakarta

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Peneliti dan Penulis Genealogi Intelektual Ulama Betawi

 

Dulu, sebelum Guru Abdullah (KH Abdullah bin H Suhaimi) wafat pada tahun tahun 1961, umat Islam di daerah Mampang (dulu namanya Kebon Baru) dan Kuningan, jika ingin mengetahui kapan masuknya awal Ramadhan atau juga awal Syawal, mereka cukup mengetahuinya, yakin, dari pukulan beduk Guru Abdullah setelah shalat Maghrib.  Jika tidak terdengar pukulan Guru Abdullah setelah shalat Maghrib tersebut, maka belum masuk awal Ramadhan atau awal Syawal.

Keyakinan umat Islam di Mampang dan Kuningan, Jakarta Selatan terhadap pukulan beduk Guru Abdullah ini bukan tanpa alasan.  Guru Abdullah memang dikenal sebagai ahli falak.  Dalam menentukan awal Ramadhan atau awal Syawal,  Guru Abdullah juga melakukan rukyatul hilal yang orang Betawi menyebutnya dengan ngeker bulan u Sebelum melakukan ngeker bulan, Guru Abdullah melakukan hisab untuk menghitung dan menentukan posisi hilal saat matahari ghurub atau terbenam.

Dari buku karya Dr KH Khalilurrahman yang berjudul KH Abdullah (Guru Abdullah bin H Suhaimi): Sang Guru Falak dari Kuningan, Jakarta yang saya dipercaya untuk menjadi editornya,  dijelaskan bahwa Guru Abdullah adalah sosok ulama Betawi terkemuka dari Jakarta Selatan dari generasi para murid dari Enam Guru Betawi terkemuka ( The Six Teachers), yaitu: yaitu: Guru Manshur Jembatan Lima, Guru Marzuqi Cipinang Muara, Guru Madjid Pekojan, Guru Mughni Kuningan, Guru Khalid Gondangdia, dan Guru Mahmud Romli. Dan dari sisi mata rantai sanad keilmuan, Guru Abdullah memiliki keistimewaan karena memiliki sanad keilmuan dari tiga guru Betawi terkemuka sekaligus, yaitu Guru Mughni Kuningan, Guru Manshur Jembatan Lima, dan Guru Madjid Pekojan (Basmol).

Keistimewaan lainnya,  beliau digelari “Guru”, sebuah gelar tertinggi dalam hirarki keilmuan di Betawi. Walau semua ulama Betawi bergelar kyai atau kyai haji, namun menurut Ridwan Saidi, ada hirarki status di dalam tubuh ulama Betawi yang disebabkan oleh fungsi dan peran pengajaran mereka di tengah-tengah masyarakat. Status tertinggi dalam hirarki keulamaan di Betawi adalah Guru, yang dalam istilah Islam disetarakan dengan Syaikhul Masyaikh. Guru merupakan tempat bertanya, tempat umat mengembalikan segala persoalan. Guru mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa agama. Biasanya guru  juga mempunyai spesialisasi dalam bidang keilmuan. Misalnya Guru Manshur Jembatan Lima yang merupakan pakar di bidang ilmu falak.

Selain  itu Guru Abdullah, banyak berhasil mengkader murid-muridnya menjadi ulama terkemuka yang sebagian adalah anak dan masih memiliki kekerabatan dengannya.

Guru Abdullah terlahir dengan nama Abdullah dari pasangan Bapak H Suhaimi dan Hj Aminah untuk anak tunggal mereka yang lahir pada era penjajahan Belanda. Dalam bahasa Indonesia, Abdullah artinya hamba Allah.

Menurut cicitnya, KH Dr. Khalilurrahman, Guru Abdullah dilahirkan di Kampung Kuningan, Jakarta Selatan dalam suasana penjajahan Belanda. Tidak diketahui secara pasti data kelahiran beliau disebabkan saat itu adalah zaman penjajahan Belanda dan banyak masyarakat yang tidak bisa membaca menulis latin serta belum memahami pentingnya tertib administrasi pencatatan data kelahiran. Diperkirakan beliau lahir pada tahun 1898 M. Perkiraan lahir ini dengan mengurangi  tahun wafat beliau dan usia saat beliau wafat serta dengan memperhatikan tanggal kelahiran salah seorang cucu beliau Hj. Munawwaroh (Putri Pasangan H. Muhammad Arif bin KH Abdullah dengan Hj. Syuhada) yang bersamaan dengan tahun wafat beliau.

Guru Abdullah memulai pendidikan dari orang tua beliau dan banyak menimba ilmu, mengaji dengan tekun dari KH Abdul Mughni (Guru Mughni Kuningan) yang meru;akan mertuanya, Guru Manshur Jembatan Lima, dan Guru Madjid Pekojan. Beliau semasa dengan KH Abdurrahim Kuningan dalam menimba ilmu kepada Guru Mughni Kuningan. Dalam perjalanan ilmiahnya, Guru Abdullah merupakan kesayangan Guru Mughni. Beliau merupakan murid yang cerdas dan banyak menyerap ilmu dari guru Mughni dan menguasai masalah-masalah agama yang disampaikan gurunya dengan baik sehingga atas saran guru Mughni, beliau diminta belajar dan memperdalam ilmu Falak kepada guru Mansur Jembatan Lima yang merupakan penulis kitab falak Sullam Annayrain. Hal tersebut disebabkan, dari sekian banyak murid dan putra-putra Guru Mughni, hanya Guru Abdullah yang menguasai Ilmu Falak yang diajarkan Guru Mughni. Oleh karena kemampuan beliau dalam ilmu Falak, dengan membawa sehelai surat khusus dari Guru Mughni untuk disampaikan kepada Guru Manshur Jembatan Lima, beliau mengaji dan memperdalam ilmu Falak kepada Guru Manshur Jembatan Lima.

Penguasaan Guru Abdullah  terhadap ilmu Falak juga diakui dengan adanya bukti Ijazah dari Guru Manshur Jembatan Lima yang ditulis langsung di dalam kitab ilmu falak yang beliau baca di hadapan Guru Manshur Jembatan Lima yang merupakan Maha Guru Ulama Betawi terutama dalma bidang falak pada masa penjajahan Belanda. Guru Abdullah juga mengaji kepada ulama Betawi ahli falak lainnya, yaitu Guru Madjid Pekojan (Basmol) yang menulis sebuah risalah ilmu falak berjudul Taqwim Annayrain.

Dari pembelajarannya kepada tiga Guru Betawi ahli falak ini, maka Guru Abdullah menguasai ilmu falak sebaik ketiga gurunya tersebut sehingga umat Islam, khsususnya di Mampang dan Kuningan,  mengandalkan Guru Abdullah dalam menentukan awal Ramadhan dan juga awal Syawal dari pukulan beduknya saja,  Marhaban yaa Ramadhan!*

 

 

Related posts