Berita 

KH Jamal F. Hasyim: Abu Janda, Jika Salah, Jangan Dibela!

Ada beberapa yang mengkritik saya karena ikut mengkritik Abu Janda (AJ). Mereka menganggap AJ adalah meriam yang efektif menyerang kelompok Islam radikal dan intoleran yang umumnya anti NU. Menurut mereka, AJ harus dibela bukan malah dicaci. AJ dianggap berjasa membela para kyai ketika beliau2 diserang kelompok “seberang” tadi. Intinya, AJ adalah sahabat kita.

Terus saya musti bilang  “Wow!!” gitu?

Bagaimana kita menalar ini?

Pertama, dalam struktur nalar seperti itu, terdapat mafhum (lawan: manthuq) bahwa AJ hadir sebagai kekuatan tambahan untuk menghadapi kelompok intoleran dan anti NU. Darimana dia muncul, apa motifnya, tuluskah dia untuk membela keyakinan para ulama NU, benarkah dia pejuang sejati yang hadir semata untuk tugas mulia itu? Daftar pertanyaan ini mungkin tidak penting bagi mereka.

Kedua, kapasitas keilmuan dan kompetensi untuk melakukan counter, benarkah boleh dilakukan oleh sembarang orang, hanya modal nekat dan berani? Bukankah kita selama ini mengkiritik para pendakwah yang baru bisa agama, tanpa kompetensi, sudah ceramah dan fatwa sana sini? Apakah kritik kita kepada mereka tidak berlaku jika itu dilakukan untuk “membela” kita?

Ketiga, simbol mulia NU dan Ansor/Banser, bolehkah digunakan sembarang orang tanpa mempedulikan bahwa dibalik simbol itu terdapat harga diri, nama baik, dan cita-cita luhur pendirinya? Bahwa bebas melakukan apa saja dibawah seragam/simbol itu?

Keempat, nampaknya berlaku “enemy of my enemy is my friend”. Musuhnya musuhku adalah temanku. Dengan logika yg sama, maka musuhnya Israel adalah temanku, misalnya Cina dan Rusia. Musuhnya FPI adalah temanku. Jika FPI dimusuhi pelaku bisnis maksiat, apakah pelaku bisnis maksiat itu adalah teman kita?

Kelima, seorang AJ tidak berangkat dari ruang hampa. Ia masuk medan perang dengan kesadarannya, tim medsosnya, bahkan mungkin sponsor dananya. Seorang AJ tidak sama dengan mahasiswa yang demo yang masih polos dan hanya tahu teriak membela keyakinannya. Seringkali kepolosan mahasiswa itu dimanipulasi oleh kepentingan tertentu. Pertanyaannya, siapakah di belakang AJ ini? Apa motif ia membiayai AJ? Benarkah murni memerangi radikalisme dan intoleransi? Jika benar, apakah sikap kritis yang sama ditunjukkan AJ jika pelaku intoleransi berasal dari non Muslim? Jika hanya “galak” keoada Muslim dan bungkam untuk Non-Muslim, bagaimana kita membacanya? Sejarah yang bisa menjawab.

Keenam, glorifikasi berlebihan terhadap AJ menyiratkan seakan para ulama tidak berdaya menghadapi serbuan opini negatif dari pihak lain sehingga keberadaan AJ patut disyukuri. Lucu juga menganggap para ulama perlu amunisi tambahan untuk menghadapi serangan itu. Janga gitu ah, para ulama kita sudah terbukti sekuat karang menghadapi serangan kepada mereka, baik opini maupun bahkan serangan fisik. Jangankan di jaman demokratis dan terbuka saat ini, di era totaliter masa lalu mereka survive dan berhasil keluar “menang tanpo ngasorake”. Akhirnya mainstream keagamaan negeri tetap mengikuti para ulama mulia tersebut tanpa heroisme dan retorika hingar bingar.

Jadi, soal AJ santai saja. Dia salah ya harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Jangan pula berpayah diri membelanya seakan dia aset berharga. Paling tinggi dia itu sekutu dalam menjaga NKRi tercinta. Tidak lebih. Tanpa glorifikasi.

Itu….!!! #JFH#

#ngelamunsore

*KH Jamal F. Hasyim, Ketua KODI DKI Jakarta,  Pengurus PWNU DKI Jakarta & Lembaga Dakwah PBNU

Related posts