Membangun Pasif Pahala
Oleh: Latif HATAM
Pasif pahala atau sustainable effort adalah pahala yang terus mengalir. Seseorang, seperti pekerja, tentu membutuhkan dan ingin memiliki pasif pahala. Untuk memiliki pasif pahala ini, seseorang harus menjadi spiritual yang kaya akan makna dan memiliki wawasan kekahiratan.
Tanpa wawasan keakhiratan hidup menjadi kurang bermakna. kesuksesan dunia tidak ada artinya tanpa diikuti kesuksesan akhirat. Karena dunia adalah satu titik dari garis lurus yang panjang. Bagaimana cara membangun kesuksesan akhirat? Orang yang spiritual menganggap bahwa orang yang sukses adalah mereka yang masuk surga; masa depan adalah akhirat; bekerja adalah mencari akhirat. Rasulullah saw. bersabda “orang yang cerdas adalah orang yang mengevaluasi dirinya dan berbuat untuk masa setelah kematian”.
Istilah lain untuk sustainable effort adalah passive income. Passive income artinya memperoleh pendapatan atau penghasilan walaupun sudah tidak bekerja lagi. Hal ini pasti disukai oleh siapapun padahal ini terjadi karena usaha sebelumnya dengan gigih dia lakukan sehingga dari kerja keras orang lain berimbas pada income yang kita dapatkan.
Islam melalui nabinya, Muhammad, Rasulullah saw., jauh-jauh hari sekitar 15 abad yang lalu, telah mengejarkan pada kita tentang pasif pahala ini. Sebagaimana sabdanya :” Apabila anak adam (manusia) meninggal, putuslah semua amal perbuatannya (yang menghasilkan pahala), kecuali tiga hal, yaitu sadaqah jariah, anak yang saleh yang selalu mendoakan, serta ilmu yang dimanfaatkan (oleh penggunanya).”
Dari hadist tersebut dapat kita kaji ulang bahwa mereka yang meninggal dunia sudah pindah ke alam lain, yaitu alam Barzakh; alam yang asing baginya, alam yang kedudukannya pasif, tidak beramal dan tidak berbuat kebaikan lagi atau tidak memperoleh pahala dari perbuatan fisiknya sendiri. Namun demikian mereka masih bisa memperoleh passive income, berupa pahala dari hasil pekerjaannya ketika masih hidup di dunia sehingga ketika kelak dibangkitkan lagi (hari kiamat) dan semua manusia dibangunkan dan dikumpulkan untuk diperhitungkan (dihisab) neraca perbuatannya, niscaya akan memperoleh hasil yang menggembirakan. Diantara pasif pahala yang diperolehnya itu berasal dari tiga macam, yaitu:
Sadaqah jariah
Maksudnya amal jariah ketika masih hidup mengeluarkan sebagian harta yang dapat dimanfaatkan oleh hal layak untuk kebaikan bersama oleh penggunanya, misalnya; membangun masjid, membangun jalan, dan lain sebagainya sehingga menghasilkan pahala walaupun sudah berada di alam sana.
Anak yang saleh
Seseorang mempunyai anak yang dibekali pendidikan berbagai pengetahuan, baik pengetahuan umum, maupun pengetahuan agama sehingga menjadi anak yang saleh pandai berbakti kepada kedua orang tuanya dan selalu mendoakan ketika ibu bapaknya telah tiada.
Ilmu yang dimanfaatkan
Seseorang selama hidupnya berusaha mentransfer atau mengajarkan berbagai ilmu, baik ilmu keduniaan maupun keakhiratan yang dapat dimanfaatkan oleh penerimanya. misalnya; ilmu keguruan yang bisa dipraktekan oleh setiap guru, dan banyak lagi ilmu-ilmu lain.
Ketiga hal ini income (pahala) yang benar-benar berharga, yang diperoleh ketika kita sama sekali pasif tidak daya dan upaya, dengan perkataan lain ketika kita telah meninggal dunia.
Geratis (Gerakan Wasiat Sepertiga Saja)
Wasiat dari harta yang dimiliki oleh seseorang dapat menjadi pasif pahala. Salah satu sumber ketetapan wasiat adalah dari Al-Qur`an Surat Al-Baqarah (2) ayat 180 yang artinya:”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Wasiat paling banyak sepertiga saja. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqqash:
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُوصِي بِمَالِي كُلِّهِ قَالَ لَا قُلْتُ فَالشَّطْرُ قَالَ لَا قُلْتُ الثُّلُثُ قَالَ فَالثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ
Artinya: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku mau berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku (kepada putrid tunggalku, pent.)”. Beliau bersabda, “Tidak boleh”. Aku berkata, “Kalau setengahnya?” Beliau bersabda, “Tidak boleh”. Aku berkata, “Kalau sepertiganya?” Beliau bersabda: “Ia sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu mengemis kepada manusia dengan menengadahkan tangan-tangan mereka.”
Wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris, seperti sabda Rasulullah saw.: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Imam Bukhari). Namun jika seseorang ingin memberikan hartanya kepada anaknya, maka bisa dilakukan ketika ia masih hidup, dan hal itu disebut sebagai hibah (pemberian), karena pada hakikatnya, seseorang yang memiliki harta, ia berhak membelanjakan sesuai dengan keinginannya (dalam hal yang halal), termasuk memberikan harta itu kepada anaknya atau bahkan kepada orang lain.
Lalu, seberapa pentingkah menulis wasiat itu? Rasulullah saw. bersabda,”Tidak layak bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu yang dapat diwasiatkan untuk tidur dua malam, kecuali jika wasiatnya telah ditulis.“ (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Sedangkan orang yang tidak berwasiat adalah orang yang merugi. Rasulullah saw. bersabda,“Orang yang merugi adalah orang yang tidak berwasiat. Sedangkan orang yang mati dengan berwasiat, maka ia mati dalam jalan Islam, dalam sunnah, ketakwaan, kesyahidan, dan mati dalam keadaan diampuni dosanya.” (HR Ibnu Majah).
Bentuk Lain
Ada beberapa pasif pahala seperti di atas namun dilakukan saat kita masih hidup di dunia ini dan dilaksanakan karena Allah swt. semata. Di antara income tersebut, antara lain seperti menganjurkan kepada orang lain untuk berbuat baik, sehingga memperoleh pahala yang tidak disangka-sangka. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,”Barang siapa orang mendukung (memberi jalan) berbuat baik kepada orang lain, maka baginya pahala seperti dia yang mengerjakan kebaikan (tidak dikurangi sedikitpun).”
Dalam hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pandangan, gagasan dan memotivasi orang lain atau bawahan bahwa bekerja bukan semata-mata untuk mendapatkan upah, tetapi yang utama sebagai bentuk ibadah kepada Allah swt. Jika kemudian mereka menerima dan menjalankan pandangan, gagasan serta motivasi tersebut sehingga dalam bekerja mereka produktif, jujur, bertanggung jawab, disiplin, tepat waktu, dan lain sebagainya, maka kita akan kebanjiran dua pahala: Pahala karena mereka menerima pandangan, gagasan dan motivasi yang kita berikan dan pahala karena mereka menjalankan pandangan, gagasan dan motivasi tersebut . ***