Artikel 

Hukum Onani: Memelihara Iman dan Menjaga Nafsu di Bulan Ramadhan

Oleh ; Abdul Muiz Ali

Pengurus Lembaga Dakwah PBNU

 

Belakangan viral di media sosial tentang petikan isi ceramah salah satu ustadz yang menjelaskan khilafiyah ulama hukum onani pada saat puasa di bulan Ramadhan. Meski betul hukum onani masih ikhtilaf, tetapi mengemukakan pendapat yang memperbolehkan seperti menjelaskan pendapatnya Imam Ibnu Hazam, Imam As-Syaukani dan Nashiruddin Al-Albani yang menyalahi jumhurul Fuqoha’ (syadz) –sebagaimana ia jelaskan sendiri– dalam komunitas yang mayoritas masih awam soal agama tentu sangat tidak arif. Isi ceramahnya akan menimbulkan orang awam menjadi bingung dan sangat mungkin bagi orang yang tidak mau berusaha mengendalikan syahwatnya akan dijadikan pembenaran melakukan onani di siang hari bulan Ramadhan.

Padahal, puasa Ramadhan menjadi istimewa bagi Allah Subhanahu wata’ala, karena di dalamnya kita sedang ditempa dan dilatih menahan diri untuk sabar, termasuk melatih mengendalikan nafsu dan syahwat.

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى .

“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Azza wajalla berfirman; “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku….”

(HR. Bukhari).

 

Salah satu dari lima pokok penting (ad-Dhoruriyatu al-Khoms) yang wajib dijaga dalam Islam adalah menjaga atau memelihara keturunan (hifzu an-Nasl) melalui sistem reproduksi bersumber dari air mani dengan cara yang benar seperti menikah. Menikah selain hukumnya sunah, juga bertujuan untuk memelihara keturunan (hifzu an-Nasl). Jika belum siap menikah karena faktor ekonomi, maka untuk mengendalikan nafsunya dengan cara berpuasa. Rasulullah Shollallahu alaihi wasallama bersabda;

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

“Wahai golongan pemuda, siapa yang mampu menikah, maka menikahlah, karena sungguh hal itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan, dan siapa yang tidak mampu (menikah) maka hendaklah ia berpuasa, karena itulah pengendali baginya.” (HR. Bukhari)

Ulama menghukumi haram mengeluarkan mani dengan cara yang tidak benar, seperti mengeluarkan mani dengan tangannya (istimna’) seperti halnya onani. Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali bin Yusuf Al-Fairuzabadi Asy-Syirazi Asy-Syafi’i Rahimahumullahu berkata, haram hukum mengeluarkan mani dengan tangannya (istimna’) berdasarkan Firman Allah Subhanahu Wata’ala;

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ .فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

“Mereka ( orang-orang yang beruntung ) adalah orang-orang yang menjaga kemaluan mereka . Kecuali kepada pasangan atau hamba sahaya yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Maka barang siapa mencari di balik itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas” (QS. Almukmikun: 5-7)., Alasan haramnya hukum onani karena secara langsung mengarah atau menyebabkan memutus sistem reproduksi keturunan/kelahiran. (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhu al- Muhdzab, 18/267).

Menurut Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi, dalam kitabnya Hikmatu at-Tasri’ Wafalsafatuhu bahaya sering melakukan onani, selain menyebabkan lemahnya organ atau alat produksi juga dapat merusak psikis atau kejiwaannya ( Hikmatu at-Tasyri’ Wafalsafatuhu, 2/191-192).

Menurut mayoritas ulama, onani termasuk salah satu penyebab batalnya puasa. Dalam madzhab Syafi’i, orang yang melakukan onani pada siang hari bulan Ramadhan puasanya batal dan ia berwajiban mengganti (qodho’) puasanya tapi tidak wajib kafarot. Penjelasan ini dapat dirujuk pada literatur fikih-fikih Syafi’i, baik yang klasik atupun kontemporer. Selain wajib qodho’ , dia wajib bertaubat atas perbuatannya, terlebih dia melakukanya pada saat bulan puasa suci Ramadhan. Bulan di mana mestinya dijadikan melatih diri untuk sabar dan melatih mengendalikan hawa nafsu agar kita bisa menjadi hamba-hamba yang bertakwa.

Related posts

Leave a Comment