Perlukah MUI Membentuk Dewan Etik Da`i?
Oleh: KH Jamaluddin F. Hasyim
Ketua KODI Provinsi DKI Jakarta
Pengasuh Ma`had Aly Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah
Dalam Rakornas virtual Komisi Dakwah dan Pengabdian Masyarakat Majelis Ulama Pusat (MUI) Pusat beberapa hari lalu, berkembang usulan untuk membentuk dewan etik bagi kasus-kasus yang terjadi di dunia dakwah, khususnya yang berkaitan dengan mubaligh atau da’i. Alasannya sederhana, makin banyak muncul kegaduhan akibat perkataan atau tindakan seorang da’i publik figur yang dipandang keliru. Dewan Etik diharapkan dapat memberi teguran atau sanksi kepada sang da’i tersebut.
Da’i adalah satu dari empat “rukun” dakwah; da’i , mad’u (objek dakwah), maddah (materi dakwah) dan thariqah (metode dakwah). Masih ada beberapa elemen penting dakwah lainnya seperti adab (etika dakwah), ruhaniyyah (spirtualitas), dan lainnya. Namun dakwah belum, atau bahkan tidak bisa, dijadikan profesi. Istilah profesi da’i belum masuk kategori profesi yang diakui karena jika diakui maka akan masuk objek sertifikasi dan standarisasi profesi. Meski dalam prakteknya banyak da’i yang full timer sehingga mirip profesi. Apalagi dunia dakwah di perkotaan menjanjikan kemakmuran. Jadilah banyak orang berlomba jadi da’i meski modal ilmu pas-pasan. Da’i banyak yang ngartis, sebelas dua belas dengan artis; glamor dan serba duniawi.
Meski bukan profesi (makanya belum ada pajaknya, ups!!) namun da’i dituntut profesional dalam dakwah. Aneh bukan? Ya aneh karena kata profesional berasal dari profesi. Profesional memiliki dua sisi, satu sisi berisi tuntutan agar penyampaian dakwah memiliki kualitas yang baik, sedangkan sisi lainnya da’i seharusnya bisa menuntut penghargaan materi atas dakwahnya. Ini problematikanya.
Kembali ke dewan etik. Lembaga itu biasanya dibentuk pada asosiasi suatu profesi. Contoh IDI dalam kedokteran, Peradi untuk pengacara, PGRI untuk kaum guru. Lha da’i wadah asosiasinya mana? Apakah MUI? Sedangkan da’i tersebut tidak berafiliasi kepada MUI, kecuali yang sudah ikut standarisasi da’i MUI. Asosiasi dalam arti lembaga dakwah sangat banyak, baik yang berfiliasi ke ormas Islam atau tidak. Sangat banyak. Tidak ada payung yang menyatukan mereka kecuali sebatas komunikasi dan koordinasi semata. Di sinilah problemnya. Jika seorang dianggap melakukan kesalahan, apakah yang bersangkutan akan patuh dengan Dewan Etik yang dibentuk MUI? Jika pun ikut dalam sidang tersebut, sejauh mana keputusannya mengikat yang bersangkutan?
Monggo sharing gagasan di sini, di Klasikmedia.com