Proses School From Home (SFH), Quo Vadis?
Oleh: Siti Hajar Rahmawati
Ibu rumah tangga,
Peserta Gerakan Literasi Warga Jakarta Peduli COVID-19-Satgas NU Peduli COVID-19
Jakarta Utara
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan melakukan survei kecil-kecilan tentang aktivitas orang tua yang bekerja dari rumah sekaligus mendampingi anak belajar dari rumah. Sejak Pemerintah mengumumkan kebijakan School From Home (SFH) dan Work From Home (WFH) pada 23 Maret 2020, praktis semua kegiatan berpusat di dalam rumah. Survei yang saya lakukan bertujuan untuk mendapatkan perspektif dan pengalaman para orang tua yang harus menerapkan WFH sekaligus harus mendampingi anak SFH.
Survei dilakukan pada tanggal 8-15 April 2020. Tanggal tersebut dipilih karena pelaksanaan WFH dan SFH sudah berlangsung selama 2 minggu, harapannya orang tua sudah mendapatkan cukup pengalaman dan juga strategi menjalankan kegiatan di rumah bersama anak-anak. Enam orang tua bersedia menjadi responden survei dan semua komunikasi dilakukan secara daring. Pemilihan 6 orang tua ini karena mereka memiliki anak usia Sekolah Dasar (SD), yang sederhananya, anak usia SD belum diperbolehkan menggunakan gawai pribadi. Padahal komunikasi antara guru dan murid dalam SFH menggunakan sistem daring.
Lalu apa yang saya dapatkan? Semua responden menyatakan bahwa mereka kewalahan dalam mengelola waktu di rumah. Pada awalnya mereka mengira bahwa bekerja dari rumah berarti mereka bisa menyelesaikan banyak hal sekaligus, ternyata tidak. Semua responden juga memiliki pandangan yang sama tentang gawai, bahwa di usia anak mereka yang masih SD, akan sangat tidak baik jika anak- anak sering berada di depan gawai, entah itu telepon genggam atau laptop/ komputer. Semua responden juga menyatakan bahwa saat orang tua berada di rumah maka anak-anak meminta perhatian lebih.
Ada beberapa hal yang akhirnya menjadi perhatian saya, salah satunya peran orang tua sebagai pengganti guru di rumah. 5 responden menyatakan bahwa mereka kewalahan mendampingi anak belajar karena materi pelajaran yang sulit. Responden juga menyatakan terkadang tugas dari guru justru merepotkan dan sumber daya untuk mengerjakan tugas tidak tersedia di rumah. Selain itu responden juga menyatakan bahwa anak-anak merasa tidak betah karena terlalu sering berada di depan gawai untuk mengikuti pelajaran yang disampaikan langsung oleh guru atau mengerjakan tugas dengan google form.
Semua responden berpendidikan sarjana (S1). 2 responden bekerja di instansi pemerintahan, 2 responden adalah akademisi, dan 2 responden lain adalah staf perusahaan dengan posisi manajerial. Jenis kelamin responden adalah 2 laki-laki dan 4 perempuan. Lalu apa yang menyebabkan kerepotan orang tua sebagai pengganti guru anak-anak di rumah, padahal mereka memiliki latar belakang pendidikan tinggi?.
Analisa saya adalah, pada saat SFH, guru hanya memberi komando atau pemberi instruksi, tidak bisa mendampingi proses belajar mengajar secara penuh. Walaupun beberapa kali mengadakan konferensi melalui video, tetapi untuk pelajaran yang membutuhkan diskusi mendalam atau praktik langsung tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Padahal materi pembelajaran dalam 1 semester tetap harus diberikan. Hal tersebut memang menjadi tantangan dalam situasi pandemi seperti sekarang ini di mana orang tua bertugas menjadi guru dengan keadaan mereka juga tetap harus bekerja secara WFH.
Hal mendasar lainnya adalah karena sistem pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya student center atau berpusat pada murid. Sistem pendidikan masih berpusat kepada guru, bahwa guru merupakan sumber utama pembelajaran. Inilah salah satu hal yang menyebabkan ketergantungan murid terhadap guru yang besar. Pernahkah orang tua mendengar anak berkata, “tetapi kata guruku ngerjainnya harus pakai buku polos”, “kata guruku soalnya harus dikerjakan semua, nanti kalau ada yang kosong enggak dinilai”, dan masih banyak lagi pernyataan anak yang menyiratkan bahwa hasil pembelajaran harus dilakukan sesuai dengan apa yang dikehendaki guru.
Jika sekolah bisa legowo mengesampingkan target akademik berupa nilai maka pembelajaran SFH dengan didampingi oleh orang tua akan memberikan hasil yang baik. Karena pada dasarnya setiap orang tua adalah pendidik, mereka memiliki cara masing-masing untuk mendampingi dan mengajarkan materi kepada anak. Guru juga perlu legowo jika hasil pembelajaran anak berbeda-beda. Mungkin murid A mampu menyelesaikan 5 materi, murid B bisa menyelesaikan semua materi yang diberikan, tetapi murid C hanya mampu menyelesaikan 2 materi. Pasti ada cerita khusus yang bisa didapat oleh guru di balik perbedaan hasil belajar dari setiap murid. Karena memang itulah hasil dari apa yang bisa dilakukan oleh orang tua sebagai guru di rumah. Keadaan di rumah jelas berbeda dengan keadaan di sekolah. Guru perlu memahami bahwa ada keterbatasan tetapi juga banyak peluang yang bisa didapat oleh murid saat dia harus belajar di rumah.
Kita semua tidak bisa menyamaratakan keadaan di rumah masing-masing anak. Jika kedua orang tua harus melaksanakan WFH dalam waktu yang bersamaan dengan SFH si anak, maka jelas ada keterbatasan. Lalu karena semua sekolah memberlakukan SFH, maka berapa jumlah anak di rumah yang bersamaan melakukan SFH? Salah satu responden memiliki 2 anak usia SD dengan waktu SFH yang bersamaan, keadaan ini merupakan tantangan tersendiri.
Sebenarnya saat anak-anak melakukan aktivitas apapun di rumah, mereka sudah mendapatkan pembelajaran langsung dari lingkungan rumah. Anak mendapatkan pembelajaran praktis dari lingkungan sosial, seperti, mengapa logat berbicara setiap orang berbeda-beda padahal tinggal di wilayah yang sama, mengapa kecoa sering ditemukan di toilet dan tempat sampah, berapa waktu yang diperlukan untuk mengisi penuh air di bak mandi dengan ukuran diameter 45 cm dan tinggi 60 cm. Kesemua hal-hal praktis sederhana yang disebutkan tadi ada dalam materi pembelajaran SD.
Orang tua adalah natural teacher, secara alamiah mereka adalah guru bagi anak-anaknya. Guru bisa bekerjasama dengan orang tua dengan memberikan panduan belajar dan menyerahkan proses sepenuhnya kepada orang tua. Cara ini juga bertujuan untuk menurunkan kemungkinan ketidak sabaran orang tua saat harus mendampingi anak belajar. Saya rasa, membebaskan orang tua bereksplorasi dengan materi, membiarkan anak mencari dan mendapatkan insight atau wawasan yang dalam dari pembelajaran adalah proses terbaik. Agar anak benar-benar menjadi seorang pembelajar, bukan sekedar karena dia harus belajar. Jika tidak, SFH ini quo vadis, mau ke mana? ***
Salurkan zakat, infak, shadaqah dan donasi Anda untuk Gerakan Literasi Warga Jakarta Peduli COVID-19 ke: NU CARE LAZISNU JAKARTA UTARA, REKENING BNI: 102 202 02 08 An. NU CARE JAKARTA UTARA atau BANK BRI NU CARE Jakarta Utara 0335.01.002646.30.6 Konfirmasi donasi: 08118 1245 10