Jurnal 

Perkembangan Kajian Teroris Tafsir Timur Tengah

Abstrak

Alquran harus difahami dengan benar karena ia merupakan hudan (petunjuk) bagi manusia. Pemahaman yang benar terhadap Alquran akan menghasilkan kehidupan yang benar secara vertikal maupun horisontal begitu pun sebaliknya pemahaman yang salah terhadap Alquran akan melahirkan kehidupan yang salah dan ini sudah banyak terjadi. Untuk memahami isi kandungan Alquran tidak semudah yang bayangkan, karena Alquran berbahasa Arab sangat sarat dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Selain itu struktur dan uslub bahasa Alquran memiliki nilai sastra yang sangat tinggi yang berbeda dengan bahasa Arab pada umumnya. Oleh karena itu, di dalam memahaminya perlu metode pendekatan. Para ulama tafsir telah merumuskan ragam metode dan pendekatan tersebut seiring waktu mengalami perkembangan. Memahami perkembangan teoritis tafsir juga bagian dari kesempurnaan memahami tafsir itu sendiri.

Kata kunci: Alquran, metode tafsir, perkembangan

PERKEMBANGAN KAJIAN TEORITIS TAFSIR

DI TIMUR TENGAH

Oleh: Wahyu Misbach

  1.   Pendahuluan

  Untuk memahami judul di atas (perkembangan kajian teoritis tafsir di Timur Tengah) mengharuskan kita kembali kepada sejarah kelahiran dan pertumbuhannya karena tidak mungkin sesuatu itu langsung berkembang tanpa proses kelahiran dan pertumbuhan. Bahkan kita tidak akan dapat memahami dengan sempurna  esensi perkembangan kajian teoritis tafsir tanpa terlebih dahulu memahami sejarah kelahiran dan pertumbuhan tafsir itu sendiri.

Timur tengah adalah sebuah istilah yang sangat familiar di telinga penulis namun makna sesungguhnya apa dan di mana ia?  menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Alquran sebagai sumber tafsir terlahir di negara Arab kemudian seiring pergerakan dakwah Islam meluas hingga ke luar Arab bahkan hingga Asia dan Eropa. Apakah semua negara itu masuk dalam  naungan timur tengah? Ini juga yang membuat definisi timur tengah dan perkembangannya penulis sampaikan meskipun hanya dengan selayang pandang.

Ulama tafsir memiliki ragam metode untuk membedah Alquran guna mendapatkan mutiara yang terdapat di dalamnya. Metode-metode tersebut tentu disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta keilmuan para mufassir yang pada gilirannya akan menghasilkan corak dan model tafsir yang berbeda-beda. Masing-masing metode tentu memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing dan itu sudah merupakan sunnatullah karena tidak ada sesuatu yang sempurna kecuali zat Allah Swt.

  •   Sejarah Kelahiran, Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir

Hakikat dari Alquran adalah memuat hal-hal yang bersifat global (mujmal), samar (mutasyabih) dan lainnya, yang tidak semua sahabat (pada masa turunnya Alqan) mampu untuk mengurai makna dan mengetahui apa yang dikehendaki dari ayat-ayat Alquran. Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan intelegensia dan pengetahuan kosa kata antar sahabat tidaklah sama. Di samping itu, kedekatan dengan Nabi Saw juga sangat berpengaruh dalam memahami suatu ayat sehingga di antara sahabat ada yang mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan sebabsebab turunnya ayat dan ada pula yang tidak mengetahuinya. Untuk menafsirkan ayat-ayat yang belum jelas maknanya, sahabat bisa langsung meminta Nabi Saw untuk menjelaskan makna dari ayat-ayat tersebut. Sebagai seorang utusan Allah Swt, sudah sewajarnya Nabi Saw menjelaskan dan menyampaikan hal-hal yang dikehendaki oleh Allah Swt melalui Alquran, seperti yang dijelaskan dalam Alquran: an-Nahl (16):44

وَأَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Dan kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. al-Nahl [16]:44)

Akan tetapi tidak semua ayat yang terdapat di dalam Alquran dijelaskan oleh Nabi Saw. Beliau hanya menjelaskan ayat-ayat yang makna dan maksudnya tidak diketahui oleh para sahabat (karena hanya beliau yang dianugerahi Allah Swt tentang tafsirnya) dan beliau sendiri memang diperintahkan oleh Allah Swt untuk menjelaskannya kepada para sahabat; contohnya adalah ayat-ayat yang bersifat global dan sukar dipahami, yang masih butuh perincian atau kejelasan dan juga ayat-ayat yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang cerdas dan pandai. Sedangkan untuk ayat-ayat yang bisa dipahami melalui aspek kebahasaan dan ayat-ayat yang berisikan halhal yang memang mudah untuk dinalar tidak dijelaskan Nabi Saw. Begitu pun dengan ayat-ayat yang menerangkan tentang hal-hal ghaib, yang tidak ada seorang pun yang tahu kecuali Allah Swt, seperti terjadinya hari kiamat dan hakikat ruh, tidak dijelaskan dan ditafsiri oleh Rasulullah.[1]

Tafsir Alquran telah melewati fase-fase pertumbuhan dan perkembangan yang cukup panjang , sejak dari mula pertamanya pada masa nabi SAW sampai sekarang. Oleh karena itu perlu diketahui priodesasi pertumbuhannya, agar dapat dimengerti pasang surutnya, sumber dan metodenya, serta oreantasi dan sistematikanya. Para pakar menjelaskan sejarah tafsir Alquran dalam tiga kategori utama yaitu kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan[2]

Pertama : Masa Kelahiran ; Pertama kali Alquran turun, ia langsung ditafsirkan oleh Allah yang menurunkan Alquran tersebut. Artinya sebagian ayat yang turun itu menafsirkan ( menjelaskan ) bagian yang lain sehingga pendengar atau pembaca dapat memahami maksudnya secara baik berdasarkan penjelasan ayat yang turun itu. Sebagai contoh : 

Ayat yang pertama kali turun   اقرأ باسم ربك ( bacalah dengan nama tuhanmu ) kita tidak tahu siapa tuhanmu yang dimaksud, lalu Allah menjelaskan selanjutnya bahwa tuhanmu  الذي خلق( yang telah menciptakan ) kalimat ini masih sangat umum lalu Allah menjelaskan   خلق الإنسان( yakni menciptakan manusia ) hal ini pun masih samar lalu dijelaskan. Sekiranya tafsir ini tidak diturunkan maka tidak mustahil pembaca bahkan nabipun akan salah mempersepsikan Tuhan.

Kedua : Masa Pertumbuhan : Masa pertumbuhan dapat dikelompokkan dalam beberapa periode : 1. Periode Nabi Muhammad Saw dan Sahabat ( abad I H /VII M ) pada waktu rasul masih hidup maka penafsiran langsung dilakukan oleh beliau berdasarkan wahyu Allah Swt.  sebagai contoh : para sahabat bingung dan gelisah dengan kalimat zulm ( kezaliman ) dalam firman Allah dalam surat al-An’am ayat 82 :

الَّذِيْنَ أمَنُوْا وَلَمْ يَلْبَسُوْا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمْ الأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”

Lalu rasul menjelaskan bahwa yang dimaksud “zulm” di sini adalah kesyirikan sesuai dengan firman Allah pada Surat Luqman:13

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

“Sesungguhnya mensekutukan Allah adalah kezaliman yang besar”

Pada masa ini sumber tafsir terkategorikan pada empat ; Alquran, hadits-hadits Nabi, Ijtihad dan istinbath ( melalui adat, budaya dan kebiasaan Arab), dan cerita ahlul kitab baik dari Yahudi maupun Nasrani. Periode ini berakhir dengan meninggalnya seorang sahabat yang bernama Abu Thufail al-Laitsi pada tahun 100 H di Kota Makkah.

2. Periode tabi’in dan tabi’it tabi’in ( abad 2 H / VIII M ). Sumber-sumber tafsir pada periode ini adalah : Alquran, hadits-hadits nabi, tafsir para sahabat, cerita-cerita dari ahli kitab, ra’yu dan ijtihad. Pusat pengajian tafsir menyebar di kota Makkah di antaranya dipimpin oleh Abdullah bin Abbas ( w. 63 H ), Sa’id Bin Jubair ( w.93 ), di kota Madinah di bawah pimpinan Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan di Irak di bawah pimpinan Abdullah bin Mas’ud. Di antara ciri-ciri tafsir masa ini adalah memuat banyak cerita  israiliyat, meriwayatkan dari riwayat yang disenangi saja dan sudah muncul benih-benih fanatisme mazhab. Periode ini berakhir dengan ditandai meninggalnya tabi’in yang bernama Kholaf bin Khulaifat (w. 181 H) dan sedangkan masa tabi’it tabi’in berakhir pada tahun 220 H.

Ketiga : Masa Perkembangan : Perkembangan tafsir dapat dikelompokkan dalam beberapa periode :

1. Periode Ulama mutaqaddimin ( abad III – VIII H / 1X-XIII M ), periode ini dimulai dari akhir zaman tabi’it tabi’in sampai akhir pemerintahan dinasti Abbasiyah kira-kira dari tahun 150 H/782 M sampai tahun 656 H/1258 M. atau mulai abad II sampai VII H. Sumber tafsir pada masa ini berupa : Alquran, hadits Nabi Saw, riwayat para sahabat, riwayat para tabi’in, riwayat para tabiit tabi’in, cerita ahlul kitab, ijtihad dan istinbath mufassir. Di antara para mufassir tersebut adalah Muqatil bin Sulaiman ( w. 150 H ), Syu’bah Ibn Hajjaj ( w. 160 H )

2. Periode Ulama Muta’akhirin ( abad IX- XII H / XII-XIX M ), periode ini muncul pada zaman kemunduran Islam, yaitu sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M sampai timbulnya gerakan kebangkitan Islam pada tahun 1286 H/ 1888 M, sumber tafsir pada masa ini Alquran, hadits Nabi Saw, riwayat para sahabat, riwayat para tabi’in, riwayat para tabi’it tabi’in, cerita ahlul kitab, ijtihad dan istinbath mufassir, pendapat para mufassir terdahulu. Di antara para mufassir periode ini adalah al-Baidhawi (w. 692 H ) pengarang tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil ( tafsir al-Baidhowi ), Fakhruddin al-Razy ( w.606 H) pengarang tafsir Mafatih al-Ghaib ( Tafsir al-Kabir )

3. Periode ulama modern ( abad XIV H-XIX M s/d Sekarang ), zaman ini bermula sejak abad XIV H atau akhir XIX masehi sampai sekarang, yaitu sejak dimulainya gerakan modernisasi Islam di Mesir oleh Jamaluddin al-Afghani ( 1254 H/ 1838 M ), Muhammad Abduh ( 1266 H / 1845 M ) di antara produk tafsir pada masa ini adalah : Syeikh Ahmad Mustafa al-Maraghi ( w. 1952 M ) penulis tafsir al-Maraghi. Tafsir ini sangat modern dan praktis, Sayyid Qutb penulis tafsir Fi Zilalil Quran dan Ali al-Shabuni pengarang tafsir Rawa’i al-Bayan, Tafsir ayatul ahkam minal Qur’an dan kitab Sofwatu al-Tafasir.

  • Diskursus Timur Tengah

Timur Tengah adalah istilah geografis yang fleksibel, yang berubah menurut era dan penggunaannya. Timur Tengah pada awalnya merupakan istilah yang diciptakan pada akhir abad ke-19 oleh Inggris, bersama dengan istilah geografis Eropa-sentris lainnya, seperti “Timur Dekat” (wilayah Mediterania timur yang paling dekat dengan Eropa) dan “Timur Jauh” (China, Jepang, Korea, dan entitas Asia Timur lainnya yang lebih jauh dari Eropa). Timur Tengah pada saat itu didefinisikan sebagai wilayah yang terletak di antara dua titik ekstrem ini: Semenanjung Arab, Mesopotamia, dan Persia dan wilayah Asia Tengah. Istilah “Timur Dekat” agak tidak disukai, tetapi umumnya digunakan secara bergantian dengan istilah “Timur Tengah”. Kawasan “Timur Tengah” lalu meluas ke arah barat, sehingga melingkupi Mediterania Timur dan Afrika Utara. Kebangkitan Nasionalisme Arab pada abad ke-20 (berdirinya negara-negara Arab pasca Perang Dunia II) semakin menguatkan koherensi di antara negara-negara yang didominasi orang-orang berbahasa dan berbudaya Arab, sehingga kadang-kadang Timur Tengah disebut secara kolektif sebagai Dunia Arab. Desain yang lebih inklusif adalah “Timur Tengah dan Afrika Utara” (Middle East and North Africa, MENA), yang menyertakan Israel, Turki, dan Iran ke Dunia Arab. Sementara itu, warisan kerajaan Muslim, termasuk Kekaisaran Ottoman yang lama berkuasa, memunculkan istilah “Dunia Islam” atau “ Dunia Muslim” yang mengacu pada area geografis yang mencakup semua wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara serta wilayah yang lebih luas di Asia dan Afrika yang memiliki populasi mayoritas Muslim. Semua ini (Timur Dekat, MENA, Dunia Arab, Dunia Islam, dan Dunia Muslim) sering digunakan bersama-sama di bawah istilah “Timur Tengah.” “Asia Barat Daya” adalah istilah lain untuk wilayah ini, namun hanya dipakai terbatas meskipun tidak berhubungan dengan Eropa (tidak seperti “Timur Tengah” atau “Timur Dekat”)

. Istilah “Greater Middle East” yang dibuat oleh Presiden AS George W. Bush memperkenalkan definisi inklusif yang lain atas kawasan, yang memasukkan Afrika Utara, Afghanistan, dan wilayah lainnya yang berdekatan. Peta politik Timur Tengah yang dibuat oleh National Geographic, yang tampaknya mematuhi keinginan Inggris yang asli atas istilah tersebut, tidak memasukkan Afrika Utara dan hanya memasukkan sepotong wilayah Mesir, tetapi diperluas ke wilayah Timur untuk memasukkan Afghanistan, Pakistan, dan negara-negara republik di Asia Tengah. Peta dari Rand McNally memanjang ke barat untuk memasukkan Mesir dan sebagian Libya, dan terus membentang sampai perbatasan Tiongkok dan India Barat. Sebaliknya, Human Rights Watch, International Crisis Group, dan Dewan Hubungan Luar Negeri tidak memasukkan Turki, Pakistan, atau Afghanistan dalam definisi mereka tentang Timur Tengah, meskipun mereka semua memperluas rancangan mereka untuk memasukkan negara-negara Arab dan Afrika Utara juga. Kelompok-kelompok lain mengecualikan Afrika Utara dari definisi “Timur Tengah” mereka, meskipun minimalnya, mereka memasukkan ibukota Mesir (Kairo) dan Semenanjung Sinai. Sebagian besar pusat penelitian terkemuka untuk studi Timur Tengah di Amerika Serikat memasukkan setidaknya Dunia Arab (termasuk Afrika Utara), Turki, Israel, dan Iran (contohnya Berkeley, Harvard, Princeton). Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa pusat studi memasukkan secara eksplisit studi tentang Asia Tengah juga (seperti Chicago, NYU), dan studi tentang Timur Tengah atau Diaspora Muslim (Columbia, CUNY) atau wilayah lain yang berdekatan atau bersentuhan dengan wilayah MENA yang luas. Pusat Penelitian lainnya menggunakan pendekatan yang lebih terfokus, seperti Pusat Studi Arab Kontemporer di Georgetown, yang memprioritaskan studi tentang Dunia Arab. Pusat studi lain tampak lebih terbuka dan tidak membatasi penggunaan istilah “Timur Tengah,” mungkin karena tidak ingin membatasi ruang lingkup mereka. Istilah dan definisi yang luas tentang “Timur Tengah” ini memperlihatkan kepada kita bahwa yang jadi fokus bukanlah apakah satu versi ini lebih benar dari versi lain, tapi bahwa wilayah yang luas ini, yang bersejarah, yang penuh orang, budaya, ide, dan produksi yang terbentang di tiga benua ini, merupakan wilayah yang berhubungan dengan wilayah lain. Atas dasar ini, tidaklah selalu berguna untuk mencari tahu di mana wilayah tersebut dimulai dan berhenti. Sebaliknya, akan menjadi jauh lebih menarik untuk melihat koneksi-koneksi dan pusat-pusat kekuasaan dan pengaruh yang bergeser sepanjang waktu.[3]

  Studi Timur Tengah Di Indonesia. Kementerian Luar Negeri Indonesia menempatkan Direktorat Timur Tengah di bawah Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika (Dirjen Aspasaf). Dirjen Aspasaf membawahi 5 Direktorat, yaitu Direktorat Asia Timur dan Pasifik, Direktorat Asia Selatan dan Tengah, Direktorat Afrika, Direktorat Timur Tengah, dan Direktorat Kerjasama Intra Kawasan Asia Pasifik dan Afrika. Direktorat Timur Tengah terdiri dari 4 (empat) Sub Direktorat dan 1 (satu) Sub Bagian, yaitu : -Sub Direktorat Politik dan Keamanan, mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Direktorat Timur Tengah di bidang politik dan keamanan dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah; -Sub Direktorat Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan I, mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Direktorat Timur Tengah di bidang ekonomi, keuangan dan pembangunan dengan Arab Saudi, Oman, Palestina, Mesir, Aljazair, Sudan, Persatuan Emirat Arab, Libya dan Yaman; -Sub Direktorat Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan II, mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Direktorat Timur Tengah di bidang ekonomi, keuangan dan pembangunan dengan Qatar, Irak, Tunisia, Kuwait, Bahrain, Maroko, Yordania, Suriah dan Lebanon; -Sub Direktorat Sosial dan Budaya, mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Direktorat Timur Tengah di bidang sosial dan budaya dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah; -Sub Bagian Tata Usaha, mempunyai tugas melaksanakan administrasi Direktorat Timur Tengah oleh Kementerian Luar Negeri RI adalah (disusun berdasarkan abjad): [4] 

No       Nama                                                   Ibu Kota

1          Aljazair (Algeria)                                 Aljir/Algiers

2          Arab Saudi                                           Riyadh

3          Bahrain                                                Manama

4          Irak                                                      Baghdad

5          Kuwait                                                            Kuwait City

6          Lebanon                                               Beirut

7          Libya                                                   Tripoli

8          Maroko                                                Rabat

9          Mesir                                                   Kairo

10        Oman                                                  Muscat

11        Palestina                                              Yerusalem Timur

12        Qatar                                                   Doha

13        Sudan                                                 Khartoum

14        Suriah                                                 Damascus

15        Tunisia                                                 Tunis

16        Uni Emirat Arab                                Abu Dhabi

17        Yaman                                                Sana’a

18        Yordania                                              Amman

Dengan demikian, ada negara-negara lain yang sering menjadi aktor utama dalam konflik dan pergeseran konstelasi Timur Tengah, yang tidak masuk ke Direktorat Timur Tengah Kemenlu, namun tetap berada di bawah Dirjen Aspasaf, yaitu: Turki, Iran, Afghanistan.

No       Nama                                                  Ibu Kota

1          Afghanistan                                         Kabul

2          Iran                                                       Teheran

3          Turki                                                     Ankara

Kajian Timur Tengah di Indonesia

Para penstudi Timur Tengah di Indonesia perlu memperluas kajiannya ke arah yang lebih komprehensif, dimulai dari pengamatan terhadap sejarah, keragaman lingkungan alam, sumber daya penting di kawasan (yang tidak hanya terbatas pada minyak dan gas), keragaman budaya dan pemahaman agama, bahasa, kemudian berlanjut pada geopolitik, peran AS dan kekuatan besar dunia di kawasan, pendudukan Israel terhadap Palestina, dan berbagai konflik yang terus mewarnai Timur Tengah Pasca Perang Dunia II, radikalisme/terorisme, dan lain sebagainya. Manfaat utama yang diharapkan dari studi yang komprehensif mengenai Timur Tengah adalah kemampuan para penstudi untuk melakukan analisis peluang-tantangan-ancaman dalam hubungan Indonesia-Timur Tengah. Dengan berpegang pada doktrin bahwa kebijakan luar negeri adalah demi mencapai kepentingan nasional, analisis yang dilakukan harus berporos pada kepentingan nasional Indonesia, antara lain: menjaga perdamaian dunia, meningkatkan kerjasama ekonomi, dan melindungi keutuhan NKRI.

  • Perkembangan Teoritis Tafsir Timur Tengah
  • Perkembangan Tafsir Masa Nabi
  • Tafsir Pada Masa Nabi

Dalam penafsirannya terhadap al-Qur’an, Nabi Saw tidak menggunakan metode bahasa yang berteletele dan panjang lebar atau sampai keluar jalur kepada hal-hal yang tidak ada gunannya. Metode penafsiran beliau adalah menjelaskan hal-hal yang masih samar dan global, memerinci sesuatu yang masih umum dan menjelaskan lafaz dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Pada tataran teknisnya, penafsiran yang dilakukan Nabi Saw selalu berdasarkan pada sebuah ilham dari Allah Swt dan terkadang menafsirkannya dengan ayat al-Qur’an yang lain bahkan juga berdasarkan ijtihad beliau sendiri. Akan tetapi, semuanya itu tetap kembali pada petunjuk dari Allah Swt, seperti ketika Nabi menafsirkan kata al-kalimât ( الكلمات ) dalam ayat:

فَتَلَقَّى أَدَمُ مِنْ رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ  إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. alBaqarah [02]: 37)

Nabi  Saw. menafsirkannya dengan menggunakan ayat lain, yakni:

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ

“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’râf [07]: 23)

Metode Penafsiran Nabi Saw seperti ini merupakan penafsiran atas ayat-ayat yang ringkas dan yang masih global (mujmal) dengan menggunakan ayat yang jelas arahnya (mubayyan), juga penafsiran atas ayat yang masih umum (‘am) dengan ayat yang khusus (khas), menafsiri ayat yang masih bersifat tak terbatas (mutlaq) dengan ayat yang sudah dibatasi (muqayyad) (al-Zahabi, 2005, 390). Sedangkan bagi sahabat  Nabi Saw (selain bertanya pada Nabi Saw), metode yang mereka lakukan adalah dengan ijtihad sendiri dalam menafsirkan ayat Alquran. Akan tetapi kegiatan ini tidak dilakukan kapan saja dan pada ayat apa saja. Ijtihad yang dilakukan para sahabat dalam menafsirkan suatu ayat dikarenakan mereka tidak dapat bertemu langsung dengan Nabi Saw guna menanyakannya pada beliau dan juga tidak menemukan ayat Alquran yang bisa menafsirinya. Hal ini juga terbatas pada ayat-ayat yang memang mempunyai peluang untuk dilakukan penalaran dan ijtihad. (Lihat Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, vol. I, hlm. 45.

Dari sini perbedaan kemampuan dan daya nalar antar sahabat atas pegetahuan terhadap kosa kata bahasa Arab, sejarah, sebab-sebab turunnya ayat, ilmu syariat dan tingkat intensitas kehadiran sahabat dalam majelis Nabi Saw sangat berperan dalam penafsiran mereka.

Diskursus tentang tafsir tentu tidak bisa terlepas dari sosok Nabi Muhammad Saw. karena dia lah orang yang dipilih oleh Tuhan menerima kalam-Nya.  Tafsir pertama kali ada  sejak ayat-ayat Alquran itu mulai diturunkan. Dalam praktiknya, Rasulullah Saw. menerima wahyu berupa ayat Alquran, kemudian Rasulullah menyampaikan wahyu tersebut kepada sahabat dan menjelaskannya berdasarkan apa yang beliau terima dari Allah swt.[5]Sebagaimana riwayat dari Siti ‘Aisyah rayang mengatakan bahwa Rasulullah tidak menafsirkan ayat-ayat Alquran kecuali beberapa ayat yang telah diajarkan oleh Jibril as.[6]

Menurut al-Suyuti, pada masanya, Nabi merupakan penafsir tunggal dari Alquran yang memiliki otoritas spiritual, intelektual, dan sosial.[7] Akan tetapi kebutuhan terhadap penafsiran pada masa itu tidak sebesar pada masa-masa berikutnya.

Dalam penyampaiannya, tidak semua ayat dalam Alquran dijelaskan oleh Nabi saw. Beliau hanya menjelaskan ayat-ayat yang makna dan maksudnya tidak diketahui oleh para sahabat, karena memang hanya beliau yang dianugerahi Allah swt tentang tafsiran Alquran. Begitu pun dengan ayat-ayat yang menerangkan tentang hal-hal gaib, yang tidak ada seorang pun tahu kecuali Allah swt, seperti terjadinya hari kiamat, dan hakikat ruh, semua itu tidak dijelaskan dan ditafsiri oleh Rasulullah saw.[8]

Selain itu, dalam menafsirkan Alquran, Nabi juga menggunakan bahasa yang tidak panjang lebar, beliau hanya menjelaskan hal-hal yang masih samar dan global, memerinci sesuatu yang masih umum, dan menjelaskan lafadz dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

  • Ciri-ciri Tafsir Pada Masa Nabi

Perkembangan tafsir pada periode ini sering disebut perekembangan tafsir pada era klasik, yaitu pada zaman Nabi sawdan sahabatnya. Pada periode ini termasuk dalam periode mutaqaddimin atau pada era awal pertumbuhan Islam. Ciri utama penafsiran pada masa ini adalah :

  1. Para penafsir adalah orang-orang yang menjadi saksi hidup  pada masa pewahyuan Nabi Muhammad saw.
  2. Penafsiran umumnya disampaikan melalui lisan (oral tradition) kecuali pada masa akhir periode ini yang telah menggunakan catatan-catatan sederhana.
  3. Selain riwayat, penafsiran disandarkan pada bahasa dan budaya Arab yang masih digunakan dan disaksikan pada zamannya.
  • Bentuk-bentuk tafsir yang dilakukan Nabi

Dalam menafsirkan Alquran, Rasulullah saw juga memiliki bentuk-bentuk tersendiri. Bentuk-bentuk penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah saw di antaranya adalah menafsirkan ayat Alquran dengan ayat Alquran yang lain, hal ini sesuai dengan riwayat yang disampaikan oleh al-Bukhari, Muslim dan lainnya dari Ibnu Mas’ud.

Penafsiran dilakukan dengan bentuk menafsirkan ayat Alquran dengan ayat Alquran merupakan cara yang tepat dan paling baik. Ibnu Taimiyah berkata bahwa, apabila seseorang bertanya tentang cara penafsiran yang baik, maka jawabannya adalah menafsirkan Alquran dengan Alquran itu sendiri.[9]

Selain menggunakan ayat Alquran yang lain untuk menafsirkan suatu ayat Alquran, Rasulullah Sawjuga menafsirkan sendiri  ayat berdasarkan petunjuk dari Allah Swt. Bentuk semacam ini  kemudian dikenal dengan  menafsirkan suatu ayat dengan hadis.

Bentuk dan karakteristik penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah saw tersebut sekarang kita kenal dengan nama tafsir bi al-Ma’thur yang kehujjahannya tidak perlu dipertanyakan lagi.

  • Perkembangan Tafsir Pada Masa Sahabat

Tafsir pada masa ini mulaimuncul setelah Rasulullah sawwafat. Sebelumnya pada waktu Nabi saw masih hidup, tak ada seorang pun dari sahabat yang berani menafsirkan Alquran, hal ini karena Nabi masih berada di tengah-tengah mereka, sehingga ketika ditemukan suatu permasalahan, para sahabat cukup menayakannya kepada Nabi dan permasalahan tersebut akan selesai.

Abdullah ibn Abbas yang wafat pada tahun 68 H, adalah tokoh yang biasa dikenal sebagai orang pertama dari sahabat nabi yang menafsirkan Alquran setelah nabi Muhammad saw. Ia dikenal dengan julukan “Bahrul Ulum” (Lautan Ilmu), Habrul Ummah (Ulama’ Umat), dan Turjamanul Quran (Penerjemah Alquran) sebagaimana telah diriwayatkan di atas, bahwa nabi pernah berdo’a kepada Allah agar Ibnu Abbas diberi pengetahuan tentang ta’wil Alquran (lafadz-lafadz yang bersifat ta’wil dalam Alquran).[10]

  1. Bentuk dan Karakteristik Tafsir Sahabat

Sahabat dalam menafsirkan Alquran cenderung pada penekanan arti lafadz yang sesuai serta menambahkan qawl (perkataan atau pendapat) supaya ayat Alquran mudah dipahami.

Sifat tafsir pada masa-masa pertama ialah sekedar menerangkan makna dari segi bahasa dengan keterangan-keteranagan ringkas dan belum lagi dilakukan istimbat hukum-hukum fiqih.[11]

Seperti halnya Ibnu Abbas, dalam menafsirkan Alquran ia mempergunakan Syawahidu as- Syair Arabi (Syair-syair kuno) guna untuk membuktikan kebenaran Alquran. Selain itu pula ia juga bertanya kepada golongan ahli kitab yang telah masuk Islam, seperti Ka’ab al-Akhbar dan Abdullah ibn Salam. Menurut ibnu Abbas, “Apabila terdapat dalam Alquran sesuatu yang sulit dimengerti maknanya, maka hendaklah kamu melakukan penelitian (melihat) pada syair-syair, karena syair-syair itu adalah sastra Arab kuno. Dan di dalam Alquran telah ditetapkan adanya sebagian kalimat-kalimat mu’arabah  (kata-kata asing yang diarabkan).[12]

Dalam berpendapat tentang tafsir dari suatu ayat, para sahabat juga tidak menggunakan kehendak nafsunya sendiri atau dengan pemikiran tercela, melainkan menggunakan pemikiran yang terpuji.

Tafsir dengan pikiran yang tercela ialah apabila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan mengistimbaṭkan hukum hanya dengan menggunakan pikirannya saja dan tidak sesuai dengan ruh syari’at.[13] Sedangkan tafsir yang menggunakan pikiran yang terpuji ialah apabila mufassir dalam menafsirkan ayat tidak bertentangan dengan tafsir ma’thūr. Selain itu penafsirannya harus berbentuk ijtihad muqayyad atau yang dikaitkan dengan satu kaitan berpikir mengenai kitab Allah menurut hidayah sunnah Rasul yang mulia.

Maka dari itu, ulama’ mensyaratkan agar mufassir mempunyai ilmu yang memadai tentang ilmu fiqih, ilmu Alquran; ilmu Islam dan ilmu sosial. Ditambah dengan sifat wara’ atau mawas diri dan takut kepada Allah serta mempunyai daya nalar akal yang tinggi.[14]

  • Metode Sahabat dalam Menafsirkan Ayat Alquran

Dalam menafsirkan ayat Alquran, para sahabat juga memiliki metode dan materi tafsir tersendiri. Adapun metode dan materi tafsir menurut mereka adalah :[15]

  1. Menafsirkan Alquran dengan Alquran. Inilah yang paling baik.
  2. Mengambil dari tafsir Nabi yang dihafal sahabat beliau.
  3. Menafsirkan dari apa yang mereka sanggupi dari ayat-ayat yang bergantung pada kekuatan pemahaman mereka, keluasan daya mendapatkannya, kedalaman mereka mengenai bahasa Alquran dan rahasianya, keadaan manusia pada waktu itu, dan adat istiadat mereka di tanah Arab.
  4. Mengambil masukan dari apa yang mereka dengar dari tokoh-tokoh ahli kitab yang telah masuk Islam dan baik Islam mereka.
  • Tokoh-Tokoh Tafsir pada Masa Sahabat

As-Suyuthy dalam al-Itqan mengatakan bahwa sahabat yang terkemuka dalam bidang ilmu tafsir ada sepuluh orang, yaitu:[16]

  1. Abu Bakar ash-Shiddiq
  2. Umar al-Faruq
  3. Utsman Dzun Nurain
  4. Ali bin Abi Thalib
  5. Abdullah ibn Mas’ud
  6. Abdullah ibn Abbas
  7. Ubay ibn Ka’ab
  8. Zaid ibn Tsabit
  9. Abu Musa al-Asy’ary, dan
  10. Abdullah ibn Zubair

Yang paling banyak diterima tafsirnya dari kalangan khulafa’ rasyidun ialah Ali ibn Abi Thalib. Sedangkan yang paling banyak diterima tafsirnya dari kalangan bukan khulafa’ rasyidun adalah Ibnu abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan Ubay ibn ka’ab.

Keempat mufassir Ṣahabi ini mempunyai ilmu dan pengetahuan yang luas dalam bahasa Arab. Mereka selalu menemani nabi Saw yang memungkinkan mereka mengetahui kejadian dan peristiwa-peristiwa nuzul Alquran dan tidak pula merasa ragu menafsirkan Alquran dengan ijtihad.

Ibnu Abbas banyak pengetahuannya dalam hal tafsir, karena dapat bergaul lama dengan sahabat-sahabat besar, walaupun beliau tidak lama dapat bergaul dengan Rasulullah saw.

Demikian pula sahabat Ali, beliau hidup lebih lama daripada khalifah-khalifah lainnya, saat umat Islam membutuhkan sekali kepada para ahli yang dapat menafsirkan Alquran.

Demikian pula banyak diterima riwayat dari Ibnu Mas’ud. Dan demikian pula banyak diterima riwayat dari Ubay ibn Ka’ab al-Anshary salah seorang penulis wahyu.[17]

  • Perkembangan Tafsir Pada Masa Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in

Periode pertama berakhir ditandai dengan berakhirnya generasi sahabat. Lalu dimulailah periode kedua tafsir, yaitu periode tabi’in yang belajar langsung dari sahabat. Para tabi’in selalu mengikuti jejak gurunya yang masyhur dalam penafsiran Alquran, terutama mengenai ayat-ayat yang musykil pengertiannya bagi orang-orang awam.[18]

Tabi’in mengajarkan pula kepada orang-orang yang sesudahnya yang disebut (tabi’it-tabi’in), tabi’it-tabi’in inilah yang mula-mula menyusun kitab-kitab tafsir secara sederhana yang mereka kumpulkan dari perkataan-perkataan sahabat dan tabi’in tadi. Dari kalangan tabiin ini dikenal nama-nama mufassirin sebagai berikut: Sofyan bin ‘Uyainah, Waki’ bin Jarrah, Syu’bah bin Hajjaj, Yazid bin Harun, dan Abduh bin Humaid. Mereka inilah yang merupakan sumber dari bahan-bahan tafsir yang kelak dibukukan oleh seorang mufassir besar bernama Ibnu Jarir at-Tabari. Ibnu Jarir inilah yang menjadi bapak bagi para mufassir sesudahnya (lebih dikenal dengan at-Tabari).[19]

Sebagaimana sebagian sahabat terkenal dengan ahli tafsir, maka sebagian tabi’in terkenal dengan ahli tafsir dimana para tabi’in mengambil tafsir dari mereka yang sumber-sumbernya berpegang kepada sumber-sumber yang ada pada masa sebelumnya, disamping adanya ijtihad dan penalaran.

  1. Sumber-Sumber Tafsir pada Masa Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in:

Muhammad Husain Adz Dzahabi berkata: Para mufassir dalam memahami Kitabullah adalah berpegang pada:

  1. Kitabullah.
    1. Riwayat dari sahabat dari Rosulullah SAW.
    1. Pendapat sahabat.
    1. Pengambilan dari Ahlil Kitab berdasar apa yang datang didalam Kitab mereka.
    1. Ijtihad dan pemahaman yang diberikan Allah SWT. kepada para tabi’in untuk mengetahui makna al-Qur’an.

Para tabi’in dalam mempelajari dan memahami isi-isi Alquran adalah melangsungkan tindakan-tndakan yang dipraktekkan para sahabat, yaitu mereka ada yang menerima dan ada yang menolak tafsir bil ijtihad.

Diantara yang menerima dasar ijtihad dalam menafsirkan Alquran ialah Mujahid, Ikrimah dan sahabat-sahabatnya. Hanya saja mereka dan kawan-kawannya melarang bagi orang-orang yang tidaj sempurna alat-alat tafsirnya untuk menafsirkan Alquran, yaitu:

  1. Orang yang kurang pengetahuan bahasa arabnya. Orang yang belum mampu mempelajari Alquran dalam segi hubungan mujmal dan mufashshalnya.[20]
  • Penyebaran Tafsir pada Masa Tabi’in

Setelah meninggalnya Rasulullah yang kemudian berpindah kepemimpinan yang diserahkan kepada Khalifah rasyidin menjadikan daerah kekuasan Islam meluas sehingga memaksa para sahabat berhijrah guna mengajarkan hakikat Islam yang sebenar-benarnya kepada masyarakat luas. Maka di sini kita akan mendapatkan Madrasah, Sekolah serta Mazhab-Mazhab yang mengkaji Islam secara luas yang dibawahi oleh para Sahabat sehingga menjadi landasan terbentukya para Tabiin yang paham akan ayat-ayat Alquran debimbingan serta arahan para Sahabat Rasulallah.

Secara garis besar aliran-aliran tafsir pada masa tabi’in dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok:

  1. Aliran Tafsir di Makkah

Aliran tafsir ini didirikan oleh murid-murid sahabat Abdullah ibn ‘Abbas, seperti Said bin Jubair, Mujahid, ‘Atha’ bin Abi Rabah, maula Ibnu Abbas dan Thawus bin Kisan al-Yamani. Mereka semua dari golongan maula (sahaya yang telah dibebaskan).[21]

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa orang yang paling mengerti dengan tafsir adalah penduduk Makkah sebab mereka adalah sahabat-sahabat Ibnu Abbas di mana ia dikenal sebagai sahabat yang paling banyak, paling utama, dalam pengetahuannya mengenai tafsir Alquran.

Aliran ini berawal dari keberadaan Ibnu Abbas sebagai guru di Makkah yang mengajarkan penafsiran Alquran kepada tabiin dengan menjelaskan hal-hal yang musykil. Para tabiin tersebut kemudian meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas dan menambahkan pemahamannya serta kemudian mentransfer kepada generasi berikutnya. Sementara itun dalam hal metode penafsiran , aliran ini sudah mulai memakai dasar aqli (ra’yu).

  • Aliran Tafsir di Madinah  

Aliran ini dipelopori oleh Ubay bin Ka’ab yang didukung oleh sahabat-sahabat lain di Madinahd an selanjutnya dilanjutkan oleh para tabiin Madinah seperti Abu ‘Aliyah, Zaid bin Aslam dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi.

Aliran tafsir di Madinah muncul karena banyaknya sahabat yang menetap di Madinah bertadarus Alquran dan sunnah Rasul yang diikuti oleh para tabiinsebagai murid sahabat-sahabat Nabi melalui Ubay bin Ka’ab, para tabiin banyak menafsirkan Alquran yang kemudian disebarluaskan kepada generasi selanjutnya sampai kepada kita. Pada aliran ini telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat Alquran dengan kata lain pada aliran di Madinah ini telah timbul model penafsiran bir ra’yi.

  • Aliran Tafsir di Iraq

Aliran tafsir di Iraq ini dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud (dipandang ulama sebagai cikal bakal aliran ahli ra’yi) yang memperoleh perlindungan dari Gubernur Iraq, ‘Ammar bin Yasir, serta didukung para tabiin Iraq seperti: ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Aswad bin Yasir, Murrah al-Hamdani, Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Bashri, Qatadah bin Di’amah. Secara global, aliran ini lebih banyak berwarna ra’yi (rasional). Sebagai akibat warna tersebut, maka timbul banyak masalah khilafiyah (perbedaan) dalam penafsiran al-Qur’an, yang selanjutnya memunculkan metode istidlal (dedukatif).[22]

  • Karakteristik Tafsir Masa Tabi’in

Adapun karakteristik tafsir pada masa Tabiin secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Terkontaminasinya tafsir di masa ini, dengan masuknya Israiliat dan Nasraniyat, yang bertentangan dengan ‘aqidah Islamiyah. yang dibawa masuk ke dalam kalangan umat Islam dari kelompok Islam yang dahulunya Ahli kitab seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab bin Ahbar, Abdul Malik bin Abdul Ajiz ibnu Jariz.
  2.  Tafsir pada zaman dahulu senantiasa terpelihara dengan metode talaqqi dan riwayat akan tetapi pada jaman Tabi’in metode dalam periwayatannya dengan metode global sehingga tidak sama seperti di zaman Rasulallah dan Sahabat. 
  3.  Munculnya benih-benih perbedaan mazhab pada masa ini, sehingga implikasi sebagian tafsir digunakan untuk keperluan mazhab mereka masing-masing.sehingga tidak diragukan lagi ini akan membawa dampak bagi tafsir itu sendiri. Seperti Hasan al-Basari telah menafsirkan Alquran dengan menetapkan qadar dan mengkafirkan orang yang mendustainya. 
  4. Perbedaan pendapat di kalangan para Tabiin di dalam masalah tafsir.lebih banyak di banding zaman sahabat.[23]
  • Perkembangan Tafsir pada Masa Kini

Secara teoritis, tafsir berarti usaha untuk memeperluas makna teks Alquran . sedangkan secara praktis berarti usaha untuk mengadaptasikan “teks Alquran dengan situasi kontemporer seorang mufassir. Berarti tafsir modern adalah usaha untuk menyesuaikan ayat-ayat Alquran dengan tuntutan zaman. Dapat diartikan pula bahwa tafsir modern adalah merekontruksi kembali produk-produk tafsir klasik yang sudah tidak memiliki relevansi dengan situasi modern.[24]

Ada banyak ulama yang hidup pada era modern ini hanya meringkas, mengomentari dan mengulang dari warisan-warisan yang hampir punah tersebut tidak terkecuali dalam bidang tafsir. Yang mengalami kemandegan paradigma sepeninggal Fakh al-Din al-Razi. Kemudian ada juga yang menafsirkan hanya beberapa penggal ayat atau surat saja dan itupun di percaya sebagai nukilan dari kitab-kitab sebelumnya.

Di seberang lain, Muhammad Ali Al Syaukani melalui kitab tafsir fath al-Qodirnya melanjutkan dan menyempurnakan tradisi tafsir di kalangan syi’ah pada saat geliat penafsiran mengalami kemandegan di kalangan sunni. Kehadiran tafsir Al-syaukani ini seolah-olah menjadi pelecut bagi ulama-ulama sunni untuk keluar dari kemandegan di bidang tafsir. Pada gilirannya, muncul tafsir ruh Al ma’ani karangan Al Alusi dan di susul oleh Thanthawi Jauhari tentang tafsirnya yang bernama al jawahir, yang memuat tentang ilmu astronomi. Dan kemudian mulai bermunculan tafsir-tafsir yang baru di era modern ini

Pergerakan tafsir selanjutnya mulai berubah arah dan metode. Tafsir kemudian berlanjut ke arah kajian-kajian maudlu’i (tematik) dari segala sisi Alquran dan ilmu-ilmunya. Dengan maraknya kajian-kajian tematik, banyak karya tafsir yang dihasilkan melalui pendekatan seperti ini. Beberapa tokoh yang getol dengan kajian ini seperti Muhammad Syalthut, Kemudian Amin Al-Khuli yang berusaha mengkaji Alquran lewat retorika bahasanya, di samping aspek sejarah turunnya ayat. Dan masih banyak lagi pemikir-pemikir kontemporer yang melakukan terobosan-terobosan dalam menafsirkan Alquran, baik itu dengan metode yang bisa di terima atau yang masih di perselisihkan.

Perjalanan tafsir masih akan lebih panjang lagi. Setiap masa perjalanan tafsir selalu di lingkupi oleh situasi dan kondisi yang berada di sekitar mufassir. Metode pun akan terus berkembang dengan berbedanya cara pandang satu mufassir dalam melihat kondisi dan situasi dengan mufassir lainnya. Tafsir akan terus bergerak selama keilmuan itu sendiri masih terus bergerak serta kebudayaan manusia tidak jalan di tempat.[25]

  1. Pemikiran tafsir masa modern

Abad ke 14 adalah abad di mana dunia Islam mengalami kemajuan di berbagai bidang, termasuk bidang kajian tafsir. Kajian tentang pemikiran tafsir Alquran dalam khazanah intelektual Islam memang tidak pernah berhenti. Setiap generasi memiki tanggung jawab masing-masing untuk menyegarkan kembali kajian sebelumnya yang dianggap out date. Kemunculan metode kontemporer di antaranya di picu oleh kekhawatiran yang akan di timbulkan ketika penafsiran Alquran dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan latar belakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting.[26]

Pada periode modern ini,  tafsir Alquran di samping memperlihatkan coraknya yang berbeda dengan periode sebelumnya, tapi juga selalu terkait dengan isu-isu kontemporer, seperti ketika mufassir merespon persoalan gender, demokrasi , HAM, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. Sehingga dengan demikian metodologi tafsir kontemporer adalah kajian di sekitar metode-metode  yang berkembang pada era kontemporer.[27]

  • Metode Pemikiran Tafsir Modern

Pada perkembangan dewasa ini, yang merujuk pada temuan ulama kontemporer, yang dianut sebagian pakar pemikir Alquran misalnya al-farmawi (Indonesia) yang di populerkan oleh M. Quraish Shihab dalam berbagai tulisannya, adalah pemilahan metode tafsir Alquran kepada empat metode, yaitu: (1). Metode ijmali, (2). Tahlili, (3). Muqarran, (4). Maudlu’i. Metode tafsir berdasarkan riwayah, dirayah dan isyari, di kategorikan dalam metode klasik. Sedangkan empat metode yang berupa tahlili, ijmali, muqarran dan maudlu’i, di tambah satu lagi yaitu metode kontekstual termasuk dalam kategori tafsir kontemporer.

  • Corak Pemikiran Tafsir Modern

Corak pemikiran tafsir modern memperlihatkan pada tiga peta pemikiran, yaitu tafsir ilmi, tafsir filologi, dan tafsir adabi ijtima’i.

1)      Corak tafsir ilmi

Setiap muslim mempercayai bahwa Alquran mampu mengantisipasi pengetahuan modern. Imam al-Ghazali mempunyai peran penting dalam memperkenalkan tafsir ini, dalam tatanan diskursus modern kemunculan tafsir ini menimbulkan polemik. Para pendukungnya berpandangan bahwa kemunculan tafsir ilmi adalah fenomena yang wajar dan mesti terjadi. Mengingat Alquran sendiri mengisyaratkan bahwa segala sesuatu tidak terlupakan di dalamnya.

Pokok pemikiran tafsir ilmi bisa di lacak pada tokoh semisal Mohammad Abduh, Syekh Musthofa al-Maraghi, Syekh Tanthawi Jauhari, dan Sa’id Hawa. Bahkan secara lantang ‘Abduh mengisyaratkan bahwa penemuan telegraf, telepon, kereta, dan mikrofon telah tercantum dalam Alquran.

2)      Corak tafsir filologi

Amin al-khulli telah berjasa dalam memperkenalkan teori-teori penafsiran secara sistematis. Ada tiga kerangka yang ia lakukan, yaitu; pertama, seorang mufassir harus mampu mengaitkan satu ayat dengan ayat lainnya yang memiliki tema serupa. Kedua, mempelajari setiap makna kata dalam Alquran yang tidak hanya menggunakan kamus saja, tetap juga dengan kata-kata Alquran sendiri yang memiliki akar kata serupa. Ketiga, analisis terhadap bagaimana Alquran mengombinasikan kata-kata dalam sebuah kalimat.

Akan tetapi Amin al-Khulli tidak mencoba sendiri menerapkan pemikirannya itu ke dalam bentuk penafsiran Alquran. Istrinyalah (Binti Syathi’) yang merealisasikan gagasan-gagasannya dalam bentuk pemikiran tafsir. Binti Syathi’ membuktikan dirinya sebagai mufassir yang kompeten dalam bidang tafsir filologi dengan karyanya yang berjudul tafsir al-Bayan

3)      Corak tafsir adabul ijtima’i

Tafsir adabul jtima’i muncul untuk menggugat pencapaian pemikiran tafsir klasik yang di anggap kurang mengakar pada persoalan-persoalan masyarakat. Oleh karena itu, diskursus-diskursus yang mencuat dari corak pemikiran tafsir ini adalah kritikan tajam terhadap model dan corak pemikiran tafsir klasik. Bagi para mufassir corak ini, Alquran baru dapat di katakan sebagai hudan lin-nas bila telah dirasakan menjadi problem solver persoalan-persoalan kemasyarakatan. Bentuk-bentuk penafsiran yang sifatnya tidak membumi tentu saja tidak mendapat tempat pada corak ini. Pokok-pkok pemikiran di atas terlihat jelas pada pendapat Muhammda Abduh , Rasyid Ridha, Al Maraghi Dan Sayyid Qutub.[28]

  • Beberapa Tokoh Pemikir Tafsir Modern

Di antara tafsir yang telah lahir dalam bagian pertama dari abad ke empat belas ini ialah:

  1. Al Allamah Jamaluddin Al-Qasimy
  2.  Syekh Muhammad ‘Abduh
  3.  Al Allamah Thanthawy Jauhary
  4.  Muhammad Abdul Aziz Al Hakim.
  5.  Al-Ustadz Ahmad Mustafa Al-Maraghi
  6.  Al-Ustadz Mahmud Hijazy
  7.  Al-Ustadz Ahmad ‘Izzah Darwazah
  8.  Al-Ustadz Sayyid Qutub

Seperti halnya di Timur Tengah, di Indonesia juga telah lahir para mufassir di bidang tafsir, di antaranya adalah:

  1. Al-Ustadz Abdul Halim Hasan
  2. Al-Ustadz Zainul Arifin ‘Abbas
  3. Al-Ustadz Mahmud Yunus
  4. Al-Ustadz Kasim Bakry
  5. Al-Ustadz Ahmad Hasan
  6. Teugku Hasbi As Siddiqy.[29]
  7. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tafsir Alquran mengalami perkembangan di setiap zamannya baik pada metode maupun coraknya yang kemudian juga melahirkan ulama-ulama tafsir pada setiap masanya.

Pada masa Rasulullah Sawdan pada awal pertumbuhan Islam, tafsir Alquran pendek-pendek dan ringkas. Hal ini di karenakan penguasaan bahasa Arab yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya bahasa Alquran (Ushlub Kalam Alquran). Dalam penyampaiannya, tidak semua ayat dalam Alquran dijelaskan oleh Nabi saw. Adapun Bentuk-bentuk penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah menafsirkan ayat dengan ayat  yang lain dan juga menggunakan hadis dalam menafsirkan suatu ayat.

Kemudian untuk tafsir Shahabi itu muncul setelah adanya tafsir Rasulullah saw. Bentuk dan karakteristik tafsir Sahabat itu cenderung pada penekanan arti lafadz yang sesuai serta menambahkan qawl supaya ayat Alquran mudah difahami. Dan dalam menafsirkan ayat Alquran, para sahabat juga memiliki metode dan materi tafsir tersendiri, yaitu : Menafsirkan Alquran dengan Alquran, mengambil dari tafsir Nabi yang dihafal sahabat beliau, menafsirkan dari apa yang mereka fahami dari ayat-ayat yang bergantung pada kekuatan pemahaman mereka, keluasan daya cernanya, kedalaman mereka mengenai bahasa Alquran dan rahasianya, keadaan manusia pada waktu itu, dan adat istiadat mereka di tanah Arab dan mengambil masukan dari apa yang mereka dengar dari tokoh-tokoh ahli kitab yang telah masuk Islam dan baik Islam mereka.

Lalu dimulailah periode kedua tafsir yakni masa tabi’in. Pada periode ini tafsir tabi’in jauh lebih berkembang daripada periode sebelumnya, terutama tafsir bi al-ra’yi. 

Abad ke empat belas hijriyah merupakan era modern, di mana perkembangan budaya umat manusia telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pada era modern juga di tandai dengan perkembangan sains dan tekhnologi yang demikian pesat terutama yang terjadi di dunia barat..masa ini juga di tandai dengan bangkitnya keilmuan islam dari masa kelam periode 13.

Pada periode modern ini,  tafsir Alquran memperlihatkan coraknya yang berbeda dengan periode sebelumnya, isu-isu kontemporer seperti masalah  gender, demokrasi , HAM, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. menjadi pembahasan kajian mereka.

DAFTAR PUSTAKA

al-Zahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassirun, vol. I, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003)

Amanah, Dra. H.St.,Pengantar Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, Semarang: CV.Asy-Syifa’,1993.

Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2004)

Dzahabi (al), Muhammad Husain. Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo : Maktabah wahbah, t.th. juz 1.

Masyhur, Kahar. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an. Jakarta : Rineka Cipta, 1992.

Ma’mun Mu’min, Sejarah Pemikiran Tafsir. 2011. Kudus; Nora Media Enterprise.

Muhammad, Muhammad Abdurrahman. Penafsiran Al-Qur’an Dalam Perspektif Nabi Muhammad SAW, terj. Rosihon Anwar. Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.

Rahtikawati,Yayan, Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Qur’an. Bandung : Pustaka Setia, 2013.

Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an.

Shiddieqy (ash), Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir. Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009.

Syurbasyi, Ahmad. Studi tentang sejarah perkembangan tafsir al-qur’an al-karim. Jakarta: Kalam Mulia, 1999.

Suyuṭi (as), Imam Jalaluddin. Al-Itqan fî Ulūm al-Qur’an. Bairut : DKI, 2012.

Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah. Kediri: Lirboyo Press, 2011.

Tim Penyusun, Mukadimah Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2008.

Waryono, Abdul Ghofur, Strategi Qur’ani, Yogyakarta; Belukar, 2004..


[1] Muhammad Husain al-Zahabi, Tafsir wal Mufassirun, vol.1, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003) hlm. 39. Pendapat ini merupakan penengah di antara dua pendapat lainnya tentang apakah Nabi Saw. menjelaskan semua makna yang terkandung dalam Alquran atau tidak. Pendapat yang pertama mengatakan  bahwa Nabi Saw menjelaskan semua makna yang terkandung dalam Alquran kepada para sahabat. pedapat ini dimunculkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang brjudul Muqaddimah fi t al-Tafsir. Sedangkan pendapat  kedua dihembuskan oleh Jalal al-Din al-Suyuthi yang mengutip pendapat al-Khuwayyi dengan menjelaskan bahwa Nabi hanya sedikit sekali menjelaskan makna-mkna Alquran (lihat: al-Suyuthi, al-Itqan, vol.II, hlm. 174

[2]Nasruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia, Solo: Tiga Serangkai, 2003 hal. 4-23

[3]  https://csme.indiana.edu/documents/cirricula/MEPolicyCouncil_WhatWhereMiddleEast)

[4](http://resvia-a-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-134645-UmumLaporan%20Magang%20di%20Kementerian%20Luar%20Negeri%20Republik%20Indonesia.html)

[5] Yayan Rahtikawati, Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2013) hal.31

[6] Ibid., hal. 31.

[7] Jalaluddin al-Suyuṭi, Al-Itqan fî Ulum al-Qur’an, (Bairut : DKI, 2012) hal. 173.

[8] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah, (Kediri:    Lirboyo Press, 2011) hal. 201-202

[9] Muhammad Abdurrahman Muhammad, Penafsiran Al-Qur’an Dalam Perspektif Nabi Muhammad SAW, terj. Rosihon Anwar, hal. 101.

[10] Ahmad Syurbasyi, Studi tentang sejarah perkembangan tafsir al-qur’an al-karim,(Jakarta : Kalam Mulia, 1999)hal. 87.

[11] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009) hal. 183.

[12] Ibid., hal. 88.

[13] Kahar Masyhur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992) hal.173

[14] Ibid., hal. 174.

[15] Ibid., hal. 166.

[16] Imam Jalaluddin as-Suyuṭi, Al-Itqan fî Ulûm al-Qur’an, (Bairut : DKI, 2012) hal. 587.

[17] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, hal. 182-183.

[18] Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, hal. 57

[19] Tim Penyusun, Mukadimah Al-Qur’an Dan Tafsirnya,(Jakarta: Departemen Agama RI, 2008) hal. 49

[20] Dra. H.St. Amanah, Pengantar Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir,(Semarang: CV.Asy-Syifa’,1993) hal. 294

[21] Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. hal. 58

[22] Ibid  hal. 60.

[23] Ibid  hal. 62

[24] Ma’mun Mu’min, Sejarah Pemikiran Tafsir, (Kudus; Nora Media Enterprise, 2011), hal. 67-68

[25] Tim Forum Karya Ilmiah Raden, Al Qur’an Kita; Studi Ilmu, Sejarah, Dan Tafsir Kalamullah, (Kediri; Lirboyo Press,2013), hal. 216-219

[26] Ma’mun Mu’min, Op.cit. hal. 69

[27] Waryono Abdul Ghofur, Strategi Qur’ani,(Yogyakarta; Belukar,2004), hal.7

[28] Ma’mun Mu’min, Op. Cit. hal.70-73

[29] Ibid., Hal.74

Related posts

Leave a Comment