Riqab Sebagai Penerima Zakat dalam Konteks Kekinian di Indonesia
Oleh: Wahyu Misbach, MA
Dosen PTDII
- Abstrak
Di dalam Al-Qur’an disebutkan mengenai golongan (ashnaf) penerima zakat, salah satunya adalah riqab atau budak. Banyak pihak, termasuk lembaga zakat, khususnya di Indonesia, telah menghilangkan riqab sebagai ashnaf penerima zakat. Alasannya bahwa di Indonesia saat ini tidak ada lagi perbudakan. Padahal di Malaysia, yaitu di Lembaga Zakat Selangor, riqab saat ini telah ada lagi, yaitu dalam bentuk human trafficking atau perdagangan orang. Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa ulama, seperti Syeikh Yusuf Qaradhawi dan Syeikh Syaltut. Maka sudah seharusnya riqab kembali ada sebagai penerima zakat di Indonesia, dalam hal ini dalam kasus-kasus human trafficking atau perdagangan orang.
- Kata Kunci
Kata kunci dari penelitian ini adalah riqab, human trafficking atau perdagangan orang, ashnaf atau penerima zakat, dan konteks kekinian di Indonesia.
- Pendahuluan
Sebagai rukun Islam yang keempat, zakat merupakan ibadah yang memiliki tiga dimensi pokok, yaitu dimensi spiritual personal, dimensi sosial dan dimensi ekonomi.[1]
Dalam dimensi sosial, zakat berorientasi pada upaya untuk menciptakan harmonisasi kondisi sosial masyarakat. Solidaritas dan persaudaraan akan tumbuh dengan baik (QS 9: 71). Akan muncul perasaan saling mencintai dan senasib sepenanggungan (alhadits). Keamanan dan ketentraman sosial akan tercipta di tengah-tengah masyarakat, sehingga mereduksi potensi konflik. Dengan kata lain, zakat dapat dijadikan media untuk memperkuat ketahanan nasional, sekaligus meminimalisir potensi disintegrasi bangsa.[2]
Pada dimensi sosial, zakat sangat memiliki peran penting untuk mengatasi persoalan sosial yang menimpa para mustahik zakat. Salah satu ashnaf dalam zakat yang sangat terbantukan kehidupan dan status sosialnya dengan zakat ini adalah riqab, yang memiliki arti budak. Riqab atau budak adalah orang-orang yang menjadi budak belian, yakni manusia yang diperjualbelikan bila si pemilik budak menghendaki. Mereka ini pada zaman dahulu merupakan harta kekayaan.[3]
Menurut KH Syamsuri Ridwan, perbudakan ini berlaku sampai zaman terjadi perang saudara di Amerika, antara Utara dan Selatan yang oleh Abraham Lincoln diproklamirkan sebagai perang pembebasan perbudakan.[4]
Budak-budak ini diberikan zakat supaya bisa menebus diri mereka dari pemiliknya sehingga menjadi manusia yang hidup bebas dan merdeka. Tapi, menurut KH Syamsuri Ridwan, adapun pada zaman sekarang ini, lebih-lebih di negara kita Indonesia, tidak ada perbudakan sehingga saham atau bagian dari zakatnya pun dengan sendirinya tidak ada.[5]
Namun, melihat perkembangan sosial terkini, dengan munculnya kasus-kasus perdagangan manusia (human traficking), ulama Selangor, Malaysia menqiyaskan korban-korban human trafficking sebagai riqab yang wajib menerima zakat sehingga dapat membebaskan diri mereka dari perbudakan modern ini. Maka, lembaga-lembaga zakat di Selangor, Malaysia, seperti Lembaga Zakat Selangor, memberikan perhatian khusus terhadap ashnaf mustahiq ini. Tidak sedikit pelacur dan anak-anak jalanan yang terbebas dari human trafficking dan mendapatkan kehidupan yang layak dari zakat para muzakki yang disalurkan melalui Lembaga Zakat Selangor.[6]
Jika di Malaysia riqab telah diakui keberadaannya sebagai ashnaf yang menerima zakat dalam kasus-kasus human trafficking, maka di Indonesia keberadaannya belum diakui. Padahal, kasus-kasus human trafficking di Indonesia juga tinggi. Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia telah merilis Laporan Tahunan Perdagangan Orang 2017 yang menempatkan Indonesia pada Tingkat 2. Di dalam laporan ini dinyatakan bahwa di Indonesia, perempuan, laki-laki, dan anak-anak dieksploitasi untuk kerja paksa di sektor penangkapan ikan, pengolahan ikan, konstruksi; di perkebunan, termasuk perkebunan kelapa sawit; dan di pertambangan serta manufaktur. Banyak perempuan dieksploitasi di sektor rumah tangga dan perdagangan seks. Korban sering direkrut dengan iming-iming penawaran kerja di restoran, pabrik, atau menjadi pekerja rumah tangga tapi sebenarnya dijadikan pekerja seks komersial (PSK). Jerat hutang sangat lazim dialami para korban perdagangan orang. Wanita dan remaja perempuan dijadikan PSK di daerah operasi pertambangan di provinsi Maluku, Papua dan Jambi. Wisata seks anak banyak ditemukan di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura, dan juga Bali menjadi daerah tujuan para turis Indonesia yang terlibat dalam pariwisata seks anak.[7]
Maka pembahasan tentang riqab sebagai ashnaf penerima zakat di Indonesia dalam konteks kekinian menjadi menarik untuk dibahas.
- Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis.Proses dan makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta penelitian. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Terdapat perbedaan mendasar antara peran landasan teori dalam penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif, penelitian berangkat dari teori menuju data, dan berakhir pada penerimaan atau penolakan terhadap teori yang digunakan; sedangkan dalam penelitian kualitatif peneliti bertolak dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas, dan berakhir dengan suatu teori.
- Hasil Penelitian
Di Indonesia, dalam konteks kekinian, sudah seharusnya lembaga zakat dan pihak terkait memunculkan kembali riqab sebagai ashnaf penerima zakat, dalam hal ini dalam kasus-kasus human trafficking.
Menurut Konvensi Internasional yang dikeluarkan pada bulan12 tahun 2000 yang ditandai lebih150 negara termasuk Indonesia, trafficking adalah salah satu bentuk perbudakan modern yang disertai dengan proses perekrutan ataupengangkutan atau penindasan atau penampungan atau penerimaan dengancara acaman atau paksaan atau penculikan atau penipuan atau kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan prostitusi atau kekerasan ataueksploitasi seksual atau kerja paksa dengan upah yang tidak layak ataupraktek lain serupa perbudakan.[8]
Indonesia sendiri menggunakan istilah perdagangan orang. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 yang berbunyisebagai berikut: “Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancamankekuasaan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaranatau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendaliatas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara,untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.[9]
Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mendefenisikanhuman trafficking atauperdagangan manusia sebagai rekruitmen, transportasi, pemindahan,penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaankekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan/posisi rentan atau memberi bayaran/ manfaat sehingga memperolehpersetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut.Trafficking digunakan untuk kepentingan eksploitasi; bahkan prostitusi ataubentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya. Selain itu, trafficking dapat dikatakansebagai kerja atau pelayananan paksa, perbudakan atau praktek- lainyang sama dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ-organ tubuh.[10]
Di Indonesia, korban-korban trafficking seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual misalnya dalam bentuk pelacuran dan pedophilia, bekerja pada tempat-tempat kasar yang memberikan gaji rendah seperti perkebunan, di jermal, pembantu rumah tangga, pekerja restoran, tenaga penghibur, perkawinan kontrak, buruh anak, pengemis jalanan, selain berperansebagai pelacur. Korban trafficking biasanya anak dan perempuan yang berusia muda dan belum menikah, anak perempuan perceraian, serta mereka yangpernah bekerja di pusat kota atau luar negeri. Umumnya sebagian penghasilannya diberikan kepada keluarga.Anak korban trafficking seringkali berasal dari masyarakat yang diharapkan dapat menambah penghasilan keluarga.[11]
Jika menurut Konvensi Internasional bahwa human trafficking atau perdagangan manusia merupakan perbudakan modern, maka istilah perbudakan modern ini tentu sejalan dengan terminologi riqab. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang human trafficking masih marak terjadi. Maka, zakat dapat diharapkan dapat turut berperan dalam memberantas praktik-praktik human trafficking ini dengan cara menjadikan riqab sebagai ashnaf penerima zakat.
- Pembahasan Hasil Penelitian
Human trafficking adalah perrbudakan modern yang memiliki kesamaan dengan perbudakan dalam pengertian Islam yang disebut dengan riqab.
Secara bahasa, riqab adalah jamak dari raqabah yang artinya adalah tengkuk (leher bagian belakang), seluruh tubuh dinamakan dengan satu anggota karena nilai anggota ini yang berharga. Kata raqabah digunakan secara mutlak dengan makna hamba sahaya, jadi riqab adalah hamba sahaya yang dimiliki oleh seseorang. Riqab dan di sini mencakup mukatab, yaitu hamba sahaya yang berakad dengan majikannya untuk menebus dirinya atau ghairu mukatab.
Riqab berhak menerima zakat, bila dia mukatab maka untuk membantu pembayaran yang harus ditunaikannya kepada majikannya dan bila dia bukan mukatab, maka agar dia bisa menebus dirinya dari majikannya sehingga dia menjadi orang merdeka.
Penafsiran konvensional terhadap ar-Riqab (memerdekakan budak) sebagai kalangan yang berhak menerima zakat, yakni tuan si budak yang akan menjual budak tersebut kepada orang yang akan membelinya untuk dimerdekakan atau orang yang akan menerima ganti kemerdekaan budak itu . Untuk itulah para pihak yang berbuat demikian itu yang berhak mendapatkan bagian zakat.
Menurut Yusuf Qardawi, Riqab adalah bentuk jamak dari Raqabah. Istilah ini dalam Quran artinya budak belian laki-laki (abid) dan bukan budak belian perempuan (amah). Istilah ini diterangkan dalam kaitannya dengan pembebasan atau pelepasan. Seolah-olah Qur’an memberikan isyarah dengan kata kiasan ini maksudnya, bahwa perbudakan bagi manusia tidak ada bedanya seperti belenggu yang mengikatnya. Membebaskan budak belian artinya sama dengan menghilangkan atau melepaskan belenggu yang mengikatnya. Pada ayat tentang sasaran zakat Allah berfirman: “Dan dalam memerdekakan budak belian.” Artinya. bahwa zakat itu antara lain harus dipergunakan untuk membebaskan budak belian dan menghilangkan segala bentuk pcrbudakan. Cara membebaskan bisa dilakukan dengan dua hal: Pertama, menolong hamba mukatab. yaitu budak yang telah ada perjanjian dan kesepakatan dengan tuannya, bahwa bila ia sanggup menghasilkan harta dengan nilai dan ukuran tcrtentu. maka bebaslah ia. Allah telah memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk memberikan kesempatan pada hamba-hambanya untuk memerdekakan dirinya bila ia rnenghendakinya serta berbuat baik kepadanya sebagaimana Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk memberikan pertolongan pada mereka dalam memenuhi segala tuntutan yang diperlukan. Majikan hendaknya memudahkan mereka. Demikian pula masyarakat hendaknya mau menolong agar mcreka dapat melepaskan diri dari perbudakan. Terhadap hal ini Allah SWT; berfirman yang Artinya: “Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian. hendaklah kamu membuat perjanjian dengan mercka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian .dari harta yang dikaruniakanNya kepadamu.” Kemudian Allah menetapkan bagian buat mereka dari harta zakat, untuk rnembantu mereka dalam membebaskan dirinya dan memenuhi segala apa yang ditentukan kepada mereka. Membebaskan budak belian dengan cara ini, diikuti oleh Imam Abu- Hanifah, Imam Syafi’i, golongan keduanya dan Laits bin Sa’ad. Mereka beralasan dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. la menyatakan maksud firman Allah: “Dan dalam memerdekakan budak belian.” Maksudnya adalah budak mukatab. Ia memperkuat dengan firman: “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.; dan kedua, seseorang dengan harta zakatnya atau sescorang bcrsama-sama dengan temannya membeli seorang budak atau amah kemudian membebaskan. Atau penguasa membeli seorang budak atau amah dari harta zakat yang diambilnya, kemudian ia membebaskan. Cara ini termasuk pendapat yang masyhur yang diikuti oleh Imam Malik, Ahmad dan Ishak. Imam Ibnu Arabi berpendapat, bahwa cara ini adalah cara yang tepat. la memperkuat dengan menyatakan, bahwa hal itu berdasarkan zahir nash al- Qur’an, karena Allah SWT apabila dalam kitab-Nya menerangkan raqabah, maka maksud-Nya membebaskan. Dan kalau yang dimaksud hamba mukatab, pasti Allah menyebut dengan namanya yang tertentu itu, sedangkan dalam ayat tersebut la menyebutkan Raqabah. Maka pasti maksud-Nya membebaskan. Dan sebenarnya pula bahwa mukatab itu sudah-termasuk golongan orang yang berutang, karena ia harus membayar hutang kitabah (pembebasan dirinya), sehingga ia tidak termasuk kelompok fir-riqab (dalam membebaskan budak belian). Kadang-kadang mukatab termasuk pula pada asnaf fir-riqab dalam pengertian umum, akan tetapi baru pada angsuran terakhir dia harus membayar, boleh diambil dari zakat untuk memerdekakan dirinya. Yang jelas, bahwa ibarat dalam al-Qur’an mencakup dua hal secara keseluruhan. Yaitu, menolong mukatab dan membebaskan budak belian.
Diriwayatkan dari Ibrahim an-Nakha’i dan Said bin Jabir, dari golongan tabi’in. bahwa mereka berdua membenci pembelian dan pembebasan budak dari harta zakat, oleh karena hal itu akan menarik kemanfaatan bagi orang yang mengeluarkan zakat, yaitu Walaa ul-Mutiq (wali yang memerdekakan) dan ahli warisnya, apabila si budak tadi tidak mempunyai, ahli waris, sebagaimana telah ditetapkan oleh hukum Islam. Atas dasar ini maka Imam Malik berpendapat, bahwa budak yang dimerdekakan dan dibebaskan dari perbudakannya dengan harta zakat, maka wali dan ahli warisnya adalah semua kaum Muslimin, yakni baitul malnya.
Semua perbedaan pendapat tersebut di atas terjadi apabila seseorang atau wakilnya secara langsung membagikan sendiri zakatnya. Akan tetapi bila yang melakukannya itu hakim Muslim, sebagaimana seharusnya keadaan zakat dalam pandangan Islam, maka tidak ada perbedaan pendapat sama sekali. Seorang hakim dengan harta zakat boleh membeli seorang budak belian lain membebaskannya, dengan catatan tidak merugikan sasaran zakat lainnya. (Imam Syafi’i mewajibkan menyama-ratakan pembagian zakat diantara semua mustahik, bagian untuk membebaskan budak belian tidak boleh kurang dari seperdelapan).
Yang lebih baik bagi penguasa adalah melakukan dua hal sekaligus yaitu menolong hamba mukattab dan membeli budak atau amah lain dibebaskan. Imam al-Zuhri menulis surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz sebagai berikut: bagian membebaskan budak belian terbagi dua. Pertama, untuk hamba mukattab yang Muslim. Kedua. untuk membeli budak yang suka mengerjakan salat berpuasa dan telah lama Islamya kemudian dibebaskan dengan harta zakat tersebut. Akan tetapi kita tidak memikirkan syarat apapun pada hakim seperti dibagi menjadi dua bagian atau tidak. Tetapi semuanya berdasarkan kemaslahatan bersama serta berdasarkan petunjuk dari orang yang dianggap berwewenang.
Apabila perbudakan yang bersifat pribadi secara umum telah hi!ang di alam ini, maka di sini kita merasa berkewajiban untuk mengemukakan, bahwa Islam adalah ajaran pertama di dunia yang berusaha dcngan segala caranya untuk membebaskan dan menghilangkan segala bentuk perbudakan di dunia dengan secara bertahap/berangsur-angsur.
Islam telah menutup segala pintu yang memungkinkan adanya perbudakan di alam ini. Ia mengharamkan dengan sangat, memperbudak manusia dengan jalan melenyapkan kebebasan orang-orang yang merdeka, dewasa maupun kanak-kanak. Islam melarang secara mutlak seseorang menjual dirinya anaknya maupun istrinya. Islam tidak pernah mensyariatkan terhadap orang yang berutang memperbudak dirinva untuk membayar utangnya, apabila ia tidak sanggup membayar utangnya itu. Tidak pula orang yang melakukan jarimah, memperbudak dirinya, dengan sebab jarimahnya itu, sebagaimana hal itu terjadi pada syariat terdahulu. Tidak pula memperbudak lawanan dengan zalim karena perang yang berkecamuk di antara suku-suku tertentu, semata karena hasad dan permusuhan.
Islam tidak mengecualikan sebab-sebab yang membolehkan adanya perbudakan di alam ini. kecuali satu sebab, itu pun dalam keadaan yang, sangat sempit sekali. Pengekalan sebab itu dengan jalan kebolehan dan kebebasan memilih, bukan dengan jalan wajib dan pasti. Sebab tersebut, adalah memperbudak tawanan dalam peperangan membela Islam, di mana peperangan tersebut bukan dimulai oleh Muslim atas jalan permusuhan. Hal itu pun apabila penguasa kaum Muslimin dan Lembaga Musyawarahnya melihat adanya kemaslahatan, baik bagi umat maupun bagi agama. Dan itu pun, apabila tawanan kaum Muslimin diperbudak oleh musuh, karena muamalah dengan cara yang sama, akan menimbulkan kemaslahatan. Dan bagi penguasa yang atau wakilnya secara langsung membagikan sendiri zakatnya. Akan tetapi bila yang melakukannya itu hakim Muslim, sebagaimana seharusnya keadaan zakat dalam pandangan Islam, maka tidak ada perbedaan pendapat sama sekali. adil hendaknya mau membebaskan tawanan secara mutlak tanpa mengharapkan adanya imbalan, atau dengan imbalan yang bersifat material maupun spiritual, atau membebaskan tawanan Muslim sebagai pengganti membebaskan tawanan musyrik. Ini semua sesuai dengan nash al-Qur’an yang dalam menerangkan tawanan orang kafir yang memerangi: “Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka. maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti”.
Bila terhadap perbudakan, Islam yang menetapkannya dengan jalan kebolehan tetapi sangat sempit sekali, maka sebaliknya, ia membukakan pintu seluas-luasnya untuk memerdekakan dan membebaskan. Di antara ciri keutamaan Islam, ialah dengan banyak menceritakan pembebasan budak dan tidak menceritakan perbudakan. Islam menyeru dan merangsang untuk mengadakan pembebasan, serta menjadikannya sebagai perbuatan takarrub yang paling dicintai Allah. Dan lebih dari itu ia menjadikannya sebagai kifarat bagi sebagian besar kesalahan yang dilakukan Muslim karena sifat kemanusiaannya, seperti melanggar sumpah, suami menzihar istrinya, bersetubuhnya orang yang berpuasa pada siang hari di bulan Ramadhan, membunuh karena kesalahan bahkan apabila si majikan memukul budaknya tanpa alasan yang benar, maka kifaratnya membebaskan budaknya itu.
Islam memerintahkan pula terhadap para majikan untuk memberi kesempatan pada budaknya untuk membebaskan dirinya, apabila mereka mengetahui kelakuan baik dari budak-budaknya itu, sehingga memungkinkan mereka bekerja sebagaimana lazimnya orang yang bebas, serta menolongnya untuk hidup bermasyarakat. Hal ini sebagaimana firmanNya dalam al-Qur’an : “Dan budak-budak yang kamu miliki, yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu membuat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakannya kepadamu”.
Lebih dari itu, Islam telah memberikan sebagian dari zakat untuk keperluan pembebasan yaitu harta yang merupakan pajak yang dikeluarkan oleh sebagian besar kaum Muslimin, yang senantiasa berputar pada kas negara. Dan ini adalah bagian untuk membebaskan perbudakan.
Janganlah dianggap sepele apabila Islam mengkhususkan diri dalam perputaran harta ini, bagian untuk memerdekakan budak, terkadang cukup dari kelebihan harta zakat, terkadang lebih hanyak dan terkadang dari semua harta zakat, apabila mustahik lain tidak memerlukannya seperti terjadi di zaman Umar bin Abdul Aziz.
Yahya bin Said berkata: “Umar bin Abdul Aziz telah mengutus kepadaku untuk mengambil zakat penduduk Afrika. Setelah aku melakukannya, aku mencari orang-orang fakirnya untuk kuberi. Tapi ternyata aku tidak menemukan orang fakir dan tidak menemukan pula orang yang mengambil zakat dari aku. Umar bin Abdul Aziz telah memakmurkan rakyatnya. Kemudian dengan harta zakat itu aku membeli budak-budak untuk kemudian kubebaskan.
Apabila kaum Muslimin benar-benar melaksanakan ajaran agama, kemudian diperintah oleh penguasa yang adil dan bijaksana, mudah-mudahan dalam waktu yang singkat, kita tidak akan melihat perbudakan lagi.
Apabila asal kalimat (riqab) dipergunakan untuk budak, apakah tepat kalimat ini dengan keumumannya dipergunakan untuk membebaskan tawanan Muslim yang dikuasai oleh musuh-musuh yang kafir yang sama halnya dengan kekuasaan majikan pada budaknya, dan pula bukankah penawanan itu adalah perbudakan? Berdasarkan pada apa yang diriwayatkan dari mazhab Imam Ahmad, bahwa hal itu diperbolehkan sehingga dibenarkan apabila tawanan Muslim ditebus dari harta zakat. Sesungguhnya hal itu berarti membebaskan perbudakan dari tawanan.
AI-Qadhi Ibnu Arabi al-Maliki berkata bahwa ulama telah berbeda pendapat dalam membebaskan tawanan dengan harta zakat. Imam Usbugh berpendapat pula bahwa hal itu tidak boleh. Selanjutnya Imam Ibnu Habib berpendapat, bahwa hal itu diperbolehkan, sebab apabila membebaskan budak Muslim dari tangan Muslim menjadi ibadah dan diperbolehkan dari zakat, maka tentu akan Iebih utama pula apabila membcbaskan budak Muslim dari tangan dan kekuasaan orang kafir.
Apabila perbudakan sekarang sudah hilang tetapi peperangan itu tidak akan pernah berhenti pertentangan antara hak dan batil akan senantiasa berlangsung. Atas dasar itu maka bagian ini diperbolehkan dengan seluas-luasnya untuk membebaskan tawanan Muslim. Sayyid Rasyid Ridha mengemukakan dalam Tafsir fi al-Manar, bahwa bagian “fir-riqab” boleh dipergunakan untuk membantu sesuatu bangsa yang ingin melepaskan dirinya dari penjajahan, apabila tidak ada sasaran membebaskan, perorangan.
Pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat Syaikh Mahmud Syaltut yang menyatakan, bahwa apabila anda menyalakan telah habisnya perbudakan perorangan, akan tetapi sebagaimana aku lihat ada jenis perbudakan lain yang lebih berbahaya bagi kemanusiaan, yaitu perbudakan bangsa, baik dalam cara berpikir, ekonomi, kekuasaan maupun kedaulatannya. Perbudakan perorangan lenyap dengan sebab matinya orang itu, sedangkan negaranya tetap merdeka, bisa diurus oleh orang-orang pintar yang bebas merdeka.
Akan tetapi perbudakan terhadap sesuatu bangsa, akan melahirkan generasi yang keadaannya seperti nenek moyangnya yaitu tetap berada dalam perbudakan yang umum dan kekal; merusak umat dengan kekuatan yang penuh ksezaliman. Dengan demikian betapa pentingnya melakukan usaha dan kegiatan untuk menghilangkan perbudakan dan penghinaan bangsa. bukan hanya sekedar dengan harta zakat saja, akan tetapi dengan seluruh harta dan raga.
Atas dasar itu kita mengetahui betapa besar tanggung jawab orang kaya Muslim untuk menolong suku bangsa lain yang Muslim. Apa yang dikemukakan Mahmud Syaltut menunjukkan betapa luasnya arti perbudakan itu, meliputi perbudakan perorangan dan perbudakan bangsa.
Yusuf Qardhawi cenderung untuk menyatakan bahwa tidak perlu memperluas pengertian kalimat yang madlul aslinya tidak menunjukkan demikian, sebab menolong bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya, bila diambil dari zakat dengan melalui bagian sabilillah, apalagi dalam hubungan dengan negara lain, masalah ini merupakan tanggungjawab bersama.
Maka, menurut Mahmud Syaltut, dalam konteks ini penafsiran ar-Riqab perlu diperluas tidak melulu menyangkut membebaskan budak tetapi merupakan upaya membebaskan negara-negara yang masih dikuasai negara adikuasa yang bertindak zalim baik secara politik, ekonomi, maupun ideologis. Negara-negara semacam ini masuk dalam cengkeraman perbudakan dan mengekang kebebasan warganya sehingga bagi kemanusiaan secara global dampaknya lebih mengerikan daripada sekedar perbudakan hamba sahaya. Lagi pula lanjut Syaltut perbudakan yang ditunjuk dalam surat at-Taubah ayat 60 itu sudah tidak ditemukan lagi faktanya di dunia sekarang ini.
Lebih lanjut Syaltut menjelaskan bahwa negara-negara yang masih diperbudak ini umumnya adalah negara yang warganya mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu, ia menegaskan, alangkah pantasnya jika perbudakan semacam ini dibebaskan lewat perlawanan dan perjuangan guna melepaskan penjajahan negara adikuasa yang jelas menimbulkan dampak kerugian bagi kemanusiaan. Untuk usaha pembebasan ini, Syaltut berpendapat tidak hanya dengan zakat saja namun juga melibatkan jiwa dan raga.
Dalam kasus memerdekakan budak (ar-Riqab), Syeikh Syaltut menggunakan pendekatan qiyas. Dia menganalogikan penjajahan atas bangsa dengan perbudakan pada masa awal Islam. Walaupun Syaltut tidak menjelaskan illat-nya, namun hal itu bisa dipastikan dengan merujuk lanngsung kepada surat at-Taubah ayat 60 di atas. Kiranya illat yang mengikat antara memerdekakan budak pada masa awal Islam dengan memerdekakan bangsa yang terjajah adalah menyingkirkan kesulitan dan menjauhkan nestapa manusia.[12]
Maka, perlu dilakukan reinterpretasi zakat di Indonesia, [13]
- Kesimpulan
Riqab pada konteks kekinian, khususnya di Indonesia, dapat disamakan dengan human trafficking atau perdagangan orang. Kasus-kasus human trafficking di Indonesia begitu marak yang dapat diatasi dengan menggunakan dana dari zakat. Untuk itu, lembaga-lembaga zakat dan pihak-pihak terkait di Indonesia harus memasukkan kembali riqab sebagai ashnaf penerima zakat di Indonesia.
Daftar Pustaka
Ali, M. Hasan, Zakat dan Infak: Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Tahun 2008, Cet. Ke-2.
Bagian Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Jakarta, Pedoman Zakat 9 Seri, Tahun 202
Bazis Provinsi DKI Jakarta & Institut Manajemen Zakat, Manajemen Zakat ZIS BAZIS Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2006, Cet. Ke-1
Gani, Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH, “Reinterpretasi Zakat di Indonesia”, Problematika Zakat Kontemporer: Artikulasi Proses Sosial Politik Bangsa, Jakarta: Forum Zakat (FOZ), Tahun 2003, Cet. Ke-3
https://id.usembassy.gov/id/laporan-tahunan-perdagangan-orang-2017
Nashih, Abdullah Ulwan, Zakat Menurut 4 Mazhab, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Tahun 2008, Cet. Ke-1
Ridwan, KH Syamsuri, Zakat di dalam Islam, Jakarta: PT Pradnya Paramita, Tahun 1988, Cet. Ke-1
Suyanto, Modul Pendidikan Untuk Pencegahan Trafficking. Direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Biasa. Departemen Pendidikan Nasional, Tahun 2008
Syauqi, Irfan Beik, dkk, Indonesia Zakat and Development Report 2011: Kajian Empiris Peran Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan, Ciputat: Indonesia Magnificence of Zakat, Tahun 2011, Cet. Ke-1
[1]IrfanSyauqi Beik, dkk, Indonesia Zakat and Development Report 2011: KajianEmpirisPeran Zakat dalamPengentasanKemiskinan, Ciputat: Indonesia Magnificence of Zakat, Tahun 2011, Cet. Ke-1, h. 9.
[2]Ibid, h. 10
[3] KH Syamsuri Ridwan, Zakat di dalam Islam, Jakarta: PT Pradnya Paramita, Tahun 1988, Cet. Ke-1, h. 84.
[4]Ibid.
[5]Ibid.
[6]Izzuddin Abdul Manaf, Lc. MA, Riqob di Era Modern: Kontribusi Zakat Bagi Problematika TKI, https://konsultasimuamalat.wordpress.com/2013/02/21/riqob-di-era-modern-kontribusi-zakat-bagi-problematika-tki/
[7]https://id.usembassy.gov/id/laporan-tahunan-perdagangan-orang-2017/
[8]Suyanto, Modul Pendidikan Untuk Pencegahan Trafficking. Direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Biasa. Departemen Pendidikan Nasional, Tahun 2008
[9]Suyanto, 2007. UU RI Nomor 21 Tahun 2007
[10]Suyanto, 2007. Kementerian Negara Pembedayaan Perempuan RI
[11]www.rahima.or.id, dimuat Tanggal 29 Juni 2009. Dalam Perempuan Indonesia, 2005/2006
[12] M. Ali Hasan, Zakat dan Infak: Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Tahun 2008, Cet. Ke-2, h. 99 -100.
[13]Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH, “Reinterpretasi Zakat di Indonesia”, Problematika Zakat Kontemporer: Artikulasi Proses Sosial Politik Bangsa, Jakarta: Forum Zakat (FOZ), Tahun 2003, Cet. Ke-3, h. 129