Jurnal 

URGENSI IJTIHAD DALAM MERESPON PERSOALAN KEKINIAN

Oleh: Abd. Jalil,  M. Ag.

Dosen tetap Prodi PAI STAI PTDII

A. Abstrak

Keberadaan hukum Islam memiliki sejarah yang sangat panjang dan terus-menerus ditantang untuk menjawab persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat Islam. Dari waktu ke waktu, persoalan-persoalan yang timbul, tentu berbeda antara masyarakat Islam di suatu wilayah atau di suatu negara satu, dengan masyarakat Islam di wilayah atau di negara lainnya. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan budaya, sosial, politik, geografi, ekonomi, penguasaan teknologi, dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

Sering sekali, persoalan-persoalan yang timbul di tengah masyarakat muslim tidak dapat ditemukan jawabannya secara tersurat di dalam al-Qur`an, al-Hadits, maupun Ijma`. Maka, untuk mencari jawabannya, para ulama fikih melakukan ijtihad.

Pengertian ijtihad di dalam ilmu fikih adalah mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur`an dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan dasar hukum ijtihad adalah dalil al-Qur`an, al-Hadits, dan Ijma`. Adapun seseorang yang melakukan ijtihad atau ahli ijtihad  disebut dengan mutjahid.

Namun, ada pendapat bahwa pintu ijtihad saat ini telah tertutup. Pendapat ini tentu tidak relevan jika melihat persoalan-persoalan terkini yang terus muncul di masyarakat yang belum mendapatkan kepastian hukum dari ajaran Islam. Karenanya, ijtihad dari para mujtahid tetap memiliki urgensi dan  tetap diperlukan. 

 

B. Kata Kunci

Kata kunci dari penelitian ini adalah ijtihad dan persoalan kekinian.

 

C.Pendahuluan

Di dalam sejarah dan perkembangannya, ijtihad telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Bahkan, Rasulullah saw. merupakan mujtahid pertama dalam Islam, disusul kemudian oleh para sahabat, para imam mazhab, mujtahid mazhab, muqallid dan mujtahid muta`akhir. [1]

Pada akhir abad dua puluh sampai saat ini, perkembangan hukum Islam memasuki babak baru, yaitu telah tumbuh kesadaran dari kalangan ahli atau ulama fikih untuk membebaskan diri dari ke-taqlid-an. Kesadaran ini pertama kali muncul di kalangan ulama fikih yang berijtihad di Mesir. Hal ini dikarenakan banyak persoalan-persoalan yang timbul di abad modern yang tidak dapat ditemui jawabannya dari fikih yang sudah ada. Mulailah para mujtahid yang nota bene adalah ulama fikih melakukan ijtihad tanpa harus merujuk kepada fikih yang sudah ada dan langsung kepada sumber hukum Islam, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits serta amal para Salaf Saleh. Mereka berpendapat bahwa mazhab-mazhab yang dipegang oleh Jumhur Ulama semuanya juga kembali kepada prinsip pokok agama Allah yang benar dan bersumber dari sumber-sumber sebagaimana yang telah disebutkan.[2]

Dengan kesadaran ini, banyak persoalan dapat terjawab oleh hukum Islam. Dari persoalan bayi tabung sampai pada persoalan bank. Dari aspek ekonomi sampai pada aspek seni dan budaya. Namun demikian, banyak pula ulama fikih masa kini yang tetap berpegang pada salah satu dari mazhab fikih yang ada atau taqlid di dalam melakukan ijtihad untuk menetapkan suatu hukum. Dengan fenomena seperti di atas, maka ulama ahli ushul fikih membagi ahli fikih ke dalam tujuh tingkatan. Empat tingkatan pertama tergolong mujtahid. Tiga tingkatan berikutnya masuk ke dalam kategori muqallid, belum sampai ke derajat mujtahid.[3]

Kesadaran untuk membebaskan diri dari taklid, juga menjalar ke Indonesia. Walau di Indonesia mazhab yang dianut oleh umat Islam kebanyakan adalah Mazhab Syafi`iyyah, namun banyak ulama fikih di Indonesia yang tidak lagi terikat pada salah satu mazhab ketika melakukan ijtihad. Selain banyak pula yang tetap bersandar dan mengikuti pada imam mazhabnya. Atau dengan kata lain, ulama fikih atau mujtahid di Indonesia telah memenuhi empat pengelompokkan mujtahid sebagaimana yang dijelaskan di atas. Hal ini tentu menjadikan hasil ijtihad dari seorang mujtahid dengan mujtahid lainnya terhadap suatu persoalan menjadi beragam, terutama bila menyangkut persoalan-persoalan kekinian.[4]

 

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis.Proses dan makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori  dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta penelitian. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Terdapat perbedaan mendasar antara peran landasan teori dalam penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif, penelitian berangkat dari teori menuju data, dan berakhir pada penerimaan atau penolakan terhadap teori yang digunakan; sedangkan dalam penelitian kualitatif peneliti bertolak dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas, dan berakhir dengan suatu teori.

 

E. Hasil Penelitian

Kata ijtihâd terambil dari kata dasar jâhada.[5] Kata ini secara bahasa bisa diartikan dengan: “kerja keras”, “giat”, “tekun”, dan “sungguh-sungguh”.[6] Sedangkan secara istilah, ijtihad memiliki pengertian: pencurahan tenaga pikiran untuk mengambil hukum yang bukan qath`i dari suatu dalil.[7] Ijtihad menurut Ulama Ushul ialah usaha seorang yang ahli fikih yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat ‘amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.[8]

Ijtihad secara harfiah berarti usaha keras dan gigih. Sedangkan secara teknis berarti penggunaan penalaran hukum secara independen untuk memberikan jawaban atas suatu masalah ketika al-Qur’an dan al-Hadits “diam” tak rnemberi jawaban. Konsep ijma’ (konsensus) muncul sebagai hasil upaya percobaan ijtihad. Artinya, ijtihad telah menuntun para perintis hukum kepada kesimpulan bahwa konsensus masyarakat atau pa­ra ulama atas suatu masalah, harus dijadikan salah satu sumber syari’ah. Sunnah mendukung ijtihad sebagai sumber syari’ah.[9]

Pengertian ijtihad, yang menurut penulis cukup representatif untuk karya ilmiah ini adalah yang telah diberikan oleh Imam Asy-Syatibi. Menurutnya, ijtihad memiliki pengertian: “Menggerakkan segenap kemampuan dan mencurahkannya kepada tujuan yang luas; terkadang bertujuan untuk memahami atau mendapatkan hukum-hukum syari`at dan terkadang bertujuan untuk mencocokkan hukum-hukum syari`at.”[10]

Adapun tujuan ijtihad untuk mencocokkan hukum-hukum syari`at merupakan jenis yang pertama yang bisa dilakukan oleh semua orang tanpa pengecualian, sedangkan tujuan ijtihad untuk memahami atau mendapatkan hukum-hukum syari`at merupakan jenis kedua yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang ahli (mujtahid).[11]

Jadi, dari pengertian di atas dan penjelasan yang diberikan oleh Imam Asy-Syatibi, pengertian ijtihad di sini adalah menggerakkan segenap kemampuan dan mencurahkannya yang bertujuan untuk memahami atau mendapatkan hukum-hukum syari`at dari dalil-dalil yang bukan qathi yang dilakukan oleh orang yang ahli. Orang yang ahli di bidang ini, disebut dengan mujtahid.

  1.  Dasar Ijtihad, Hukum Ijtihad dan Masalah-masalah yang Diperkenankan Ijtihad

Adapun dasar untuk melakukan ijithad adalah al-Qur`an, al-Hadits atau Sunnah Rasulullah saw., Ijma` dan Qiyas. Sedangkan para ulama Fikih sepakat bahwa hukum ijtihad adalah wajib. Alasannya adalah QS. Al-Hasyr ayat 2, QS. An-Nisa ayat 59; dan juga hadis Rasulullah saw., “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan mudah mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya.”[12] Mengenai masalah-masalah yang boleh di-ijtihadi, Prof. Abdul Wahhab Khallaf mengatakan, “Tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang sudah ada nashnya secara pasti (dalil qothi).”[13] Hal ini memberikan pengertian bahwa seorang mujtahid tidak boleh mencari hukum lain jika sudah ada ketetapan hukumnya secara jelas di dalam al-Qur`an, al-Hadits atau Sunnah Rasulullah saw., dan Ijma’. Misalnya, jumlah hukum jilid yang seratus kali tidak dapat di-ijtihadkan lagi. Karena memiliki nash yang qath’iyud dalalah (pasti penunjukannya pada makna tertentu). Yang menjelaskan tentang hal ini, terdapat dalam QS. An-Nur [24]:2.[14]

 

الزانية و الزاني  فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera…” (QS. An-Nur [24]:2).

 

  1. Syarat-syarat Mujtahid

Untuk menjadi mujtahid, seseorang minimal harus memiliki empat syarat,[15] yaitu:

  1. Memiliki pengetahuan bahasa Arab, dari segi sintaksisnya dan filologinya. Dalam hal ini juga meliputi kepekaan “rasa” (dzauq) dalam memahami susunan kata-katanya (stijl bahasa) yang ia peroleh dari upaya mempelajari ilmu bahasa Arab dan cabang-cabangnya dan juga mempunyai cakrawala yang luas dalam ilmu sastranya serta unsur-unsur yang mempengaruhi kefasihannya, puisi maupun prosanya, dan lain-lain
  2. Mempunyai pengetahuan al-Qur`an, dalam arti mengerti hukum-hukum syara` yang dikandung oleh al-Qur`an, ayat-ayat yang menjadi nash hukum-hukum ini, dan metode untuk menemukan hukum-hukum tersebut dari ayat-ayatnya.
  3. Mempunyai pengetahuan al-Hadits atau Sunnah Rasulullah saw. Dalam pengertian, mengerti hukum-hukum syara` yang ada di dalam sunnah tersebut.
  4. Mengerti segi-segi analogi atau Mengerti di sini adalah mengerti `illat dan hikmah pembentukkan syari`at yang karenanya disyari`atkanlah beberapa hukum.
  5. Pandai menghadapi nashnash yang berlawanan, kadang-kadang dalam suatu persoalan terdapat beberapa (ketentuan) yang berlawanan. Nashnash yang berlawanan tersebut adakalanya tidak dapat diketahui. Kalau dapat diketahui, maka nash yang datang terbelakang membatalkan nash yang dikeluarkan terdahulu. Kalau tidak diketahui sejarahnya, maka pertama-tama diusahakan pemaduan di antara keduanya, dan kalau tidak bisa, maka harus diadakan pen-tarjih-kan terhadap salah satunya, artinnya dicari mana yang lebih kuat dari semua seginya, menurut cara-cara yang banyak dibicarakan dalam buku-buku ushul fikih.[16]

Jadi, ijtihad meski terkesan mudah dilakukan siapa saja. Namun pada prakteknya tetap harus memenuhi persyaratan di atas yang sangat ketat. Maka tidak semua orang dapat melakukan ijtihad. Karena ijtihad dapat diartikan kesungguhan seseorang maka sebelum melakukan ijtihad untuk menentukan sebuah hukum dapat dilihat lebih dulu kesungguhannya dalam belajar, mencari ilmu-ilmu di atas. Jika menguasai pengetahuan di atas, secara logis seorang yang hendak berijtihad dapat dinilai sebagai orang yang bersungguh-sungguh. Maka upaya ijtihadnya juga merupakan upaya yang sungguh-sungguh. Dengan persyaratan yang ketat di atas pula, dimaksudkan bahwa ketika ke luar produk hukum diharapkan akan menjadi hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

 

  1. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Ijtihad

Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh mujtahid dalam ber-ijtihad,[17] yaitu:

  1. Ijtihad tidak bisa dikelompok-kelompokkan. Artinya, tidak boleh seorang mujtahid hanya ahli berijtihad dalam hukum-hukum tertentu saja. Misalnya hanya ahli ber-ijtihad dalam hukum pidana saja. Seorang mujtahid haruslah ahli dalam ber-ijtihad di segala hukum syari`at.
  2. Seorang mujtahid diberi pahala oleh Allah Swt.; bila ijtihadnya benar mendapat dua pahala, satu pahala atas ijtihadnya, dan satu pahala atas kebenaran ijtihadnya. Jika salah, dia mendapat satu pahala atas ijtihadnya.
  3. Hasil ijtihad seorang mujtahid tidak bisa dibatalkan oleh hasil ijtihad mujtahid lain yang sejenisnya. Hal ini dikarenakan, ijtihad kedua tidaklah lebih kuat dari yang pertama, dan tidaklah ijtihad seorang di antara para ulama mujtahidin itu lebih berhak untuk diikuti daripada ijtihadnya mujtahid yang lain.

 

  1. Jenis Hukum Ijtihad

Ahli Ushul Fikih menetapkan bahwa hukum ijtihad itu ada tiga macam, yaitu: fardhu `ain (wajib bagi setiap orang), fardhu kifayah (cukup dilakukan oleh sebagian orang), dan mandub (sunnah). Penetapan seperti ini terdapat di dalam kitab Ihyā` `Ulūm ad-Dîn.[18]

Hukum ijtihad menjadi fardhu `ain apabila timbul suatu persoalan yang sangat mendesak untuk ditentukan atau dicarikan kepastian hukumnya, baik untuk diri sendiri maupun untuk umat. Hukum ijtihad menjadi fardhu kifayah apabila ada persoalan yang muncul yang diajukan kepada beberapa ulama untuk dijawab dan kewajiban mereka menjadi gugur jika salah seorang di antara mereka memberi jawaban atas persoalan tersebut. Ijtihad menjadi mandub apabila masalah-masalah yang akan dicarikan kepastian hukumnya adalah masalah-masalah yang belum mendesak, misalnya persoalan yang ditanyakan itu belum terjadi di masyarakat.[19]

  1. Metodologi Ijtihad

“Metode” artinya “cara yang teratur dan sistimatis untuk pelaksanaan sesuatu”; “metode juga bisa berarti “cara kerja”.[20] Sedangkan metodologi adalah ilmu metode; ilmu cara-cara dan langkah-langkah yang tepat (untuk menganalisa sesuatu); penjelasan serta menerapkan cara.[21] Adapun yang dimaksud dengan metodologi ijtihad adalah ilmu cara-cara dan langkah-langkah yang tepat untuk melakukan ijtihad.

Metode-metode ijtihad yang pertama kali muncul ada tiga, (1) Ra`yu, (2) Qiyas, dan (3) Istihsan.[22] Disusul kemudian Maslahah Mursalah, Al-`Urf, Al-Istishab, Syar`u Man Qablana, dan Mazhab Sahabi.[23]

  1. Tingkatan Mujtahid

Ulama ahli Ushul Fikih membagi ahli fikih ke dalam tujuh tingkatan. Empat tingkatan pertama tergolong mujtahid. Tiga tingkatan berikutnya masuk ke dalam kategori muqallid, belum mencapai derajat mujtahid.[24] Adapun penjelasan tujuh tingkatan tersebut, Muhammad Abu Zahrah dalam karyanya menjelaskan bahwa mereka adalah sebagai berikut:

  1. Tingkatan pertama, mujtahid mustaqil atau mujtahid yang mandiri. Untuk mencapai tingkatan ini, harus dipenuhi seluruh syarat-syarat menjadi mujtahid. Ulama pada tingkatan inilah yang mempunyai otoritas mengkaji ketetapan hukum langsung dari al-Qur`an dan al-Hadits atau Sunnah Rasulullah saw., melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, menerapkan dalil istihsan dan berpendapat dengan dasar Sadduz Zara`i. Dengan kata lain, ulama dalam tingkatan ini berwenang menggunakan seluruh metode istidlal yang diambil sebagai pedoman, tidak mengekor kepada mujtahid lain, dan dapat merumuskan metodologi ijtihadnya sendiri serta menerapkannya pada masalah-masalah furu` (cabang). Pendapatnya kemudian disebarluaskan ke tengah masyarakat. Termasuk di dalam kategori mujtahid ini adalah seluruh Fuqaha Sahabat dan Fuqaha Tabi`in.
  2. Tingkatan kedua, mujtahid muntasib atau mujtahid yang mengambil atau memilih pendapat-pendapat imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang (far`u), meskipun secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang hampir sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya. Karena, sering sekali, di antara keduanya ada hubungan persahabatan yang cukup kental. Misalnya murid-murid Imam Abu Hanifah (Abu Yusuf, Abu Hasan Al-Karhi dan Abu Hasan Al Asham) dengan Imam Abu Hanifah sendiri.
  3. Tingkatan ketiga, mujtahid mazhab atau mujtahid yang mengikuti imamnya baik dalam ushul maupun far`u yang telah ada. Peranan mereka terbatas melakukan istinbath hukum terhadap masalah-masalah yang belum diriwayatkan imamnya. Menurut Mazhab Malikiyah, tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid mazhab. Tugas mereka dalam ijtihad adalah menerapkan illat-illat fikih yang telah digali oleh para pendahulunya terhadap masalah-masalah yang belum dijumpai di masa lampau.
  4. Tingkatan keempat, mujtahid murajjih. Mujtahid ini tidak melakukan istinbath terhadap hukum-hukum furu` yang belum sempat ditetapkan oleh ulama terdahulu dan belum diketahui hukumnya. Yang mereka lakukan hanyalah men-tarjih (mengunggulkan) di antara pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari imam dengan alat tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid pada tingkatan di atasnya.
  5. Tingkatan kelima, mujtahid muwazin atau mujtahid yang membanding-bandingkan antara beberapa pendapat dan riwayat. Yang dilakukan oleh mujtahid ini, misalnya, menetapkan bahwa Qiyas yang digunakan di dalam pendapatnya lebih mengena dibandingkan penggunaan Qiyas pada pendapat yang lain; atau pendapat ini lebih shahih riwayatnya atau lebih kuat dalilnya.
  6. Tingkatan keenam, muhafiz. Tingkatan ini tergolong dalam tingkatan muqallid, hanya saja muhafiz mempunyai hujjah dengan mengetahui hasil tarjih ulama terdahulu. Tugasnya bukan melakukan tarjih, akan tetapi mengetahui pendapat yang diunggulkan beserta urutan tingkatan tarjih sesuai dengan hasil garapan mujtahid murajjih. Muhafiz mempunyai hak atau wewenang mengeluarkan fatwa sebagaimana ulama pada tingkatan di atasnya, akan tetapi hanya di dalam lingkungan terbatas.
  7. Tingkatan ketujuh, muqallid. Tingkatan ini berada di bawah semua tingkatan yang telah diuraikan di atas. Muqallid adalah ulama yang mampu memahami kitab-kitab, tetapi tidak mampu melakukan tarjih terhadap beberapa pendapat atau riwayat. Ia hanya menerima apa adanya terhadap pendapat Fuqaha tanpa berusaha mengetahui dalil dari pendapat yang diterimanya dan menerima apa adanya yang terdapat di dalam kitab-kitab sebagaimana adanya serta tidak mampu mengklasifikasikan dalil-dalil, pendapat-pendapat maupun riwayat-riwayat.[25]
  1. Ijtihad dalam Lintasan Sejarah

Ijtihad memiliki sejarah yang panjang dalam Islam. Bahkan, sejak Islam ada, ijtihad telah menjadi aktivitas penting untuk memberikan kepastian dan pedoman bagi masyarakat awal Islam. Bahkan sampai sekarang dan sampai akhir zaman, ijtihad tetap menempati posisi penting dalam masyarakat Islam.

Dalam hal ini, ulama Hambaliyah mengatakan bahwa tidak boleh suatu periode kosong dari seorang mujtahid yang memenuhi persyaratan-persyaratan ijtihad mutlaq. Sebab dengan demikian, eksistensi Islam akan terus tejaga, terhindar dari berbagi upaya penyelewengan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Karenanya, Prof. Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa sulit dimengerti mengapa ada pihak yang dengan mudah menutup pintu ijtihad yang telah dibuka oleh Allah Swt. untuk lapangan akal.[26] Berikut ini, dijelaskan mengenai sejarah ijtihad dari zaman Rasulullah saw. sampai zaman sekarang.

  1. Ijtihad Zaman Rasulullah saw.

Rasulullah saw. adalah seorang mujtahid (ahli ijtihad) dengan sebutan “Mujtahid Pertama”. Ijtihad beliau terbatas di dalam masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh wahyu (al-Qur`an). Apabila hasil ijtihad Rasulullah saw. itu benar, maka turun wahyu membenarkannya. Dan jika ijtihad Rasulullah saw. salah, turun wahyu untuk meluruskan kesalahan itu.

Contoh ijtihad Rasulullah saw. yang salah ialah keputusannya tentang pemberian izin orang-orang munafik untuk tidak ikut dalam peperangan. Kemudian turun QS. At-Taubah ayat 43-45 yang menyatakan kekeliruan ijtihad Rasulullah saw. tersebut. [27]

2. Ijtihad Zaman Khulafa Ar-Rasyidun dan Sahabat

Pada zaman Khulafa Ar-Rasyidun, hukum Islam ditetapkan melalui al-Qur`an, Sunnah Rasulullah saw., ijma`, dan ra`yu (pendapat).[28] Ra`yu di sini identik dengan ijtihad dan tidak terbatas pada analogi atau Qiyas saja, sebagaimana dikenal sekarang ini, tetapi mencakup juga Istihsan, Al-Bara`ah Al-Ashliyah, Saddu Dzara`i, dan Mashlalah Mursalah.[29]

Adanya ijma` dan ra`yu yang merupakan metode dalam berijtihad pada zaman ini karena dengan wafatnya Rasulullah saw., wahyu dengan sendirinya tidak lagi diturunkan dan hadis juga tidak lagi bertambah. Sementara itu, masalah-masalah yang dihadapi umat Islam terus bertambah dan memerlukan ketentuan dan kepastian hukum. Pada masa Khalifah Abu Bakar, jika menghadapi sesuatu persoalan dan tidak menemukan nashnya di dalam al-Qur`an dan al-Hadits, ia mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan menentukan hukum dari masalah-masalah itu (ijma`). Demikian pula pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Utsman bin Affan, dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka menggunakan ijtihad terhadap masalah-masalah yang tidak didapati dalilnya di dalam al-Qur`an dan al-Hadits. Akan tetapi, di antara keempat Khalifah tersebut, hanya Khalifah Umar bin Khattab yang diketahui paling banyak memakai ijtihad (dengan Ra`yu).[30]

Selain empat khalifah di atas, sebagian sahabat lainnya juga dikenal sebagai ahli ijtihad atau mujtahid dan bahkan diposisikan oleh umat Islam pada waktu itu sebagai mufti (pemberi fatwa dari hasil ijtihadnya). Di kota Madinah, mufti-mufti dari kalangan sahabat yaitu: Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka`ab, Abdullah bin Umar, dan Ibunda Siti Asiyah. Adapun di kota Makkah ialah Abdul Islah bin Abbas. Di kota Kuffah ialah Abdullah bin Mas`ud. Di kota Bashrah ialah Abu Musa Al-Asy`ari. Di kota Syam ialah Mu`adz bin Jabal dan Ubadah bin Shamit; dan di Mesir ialah Abdullah bin Amr.

Jika dihitung, maka ada 130 orang sahabat yang ahli ijtihad dan dipercaya oleh umat Islam untuk memberikan fatwa, termasuk yang sudah disebutkan di atas.  Kebanyakan para sahabat tersebut pada awalnya berdiam di Madinah, dan kemudian berpindah ke kota-kota lain. Karenanya, pada permulaan ijtihad mereka bersifat ijtihad jama`iyah (bersama). Sesudah mereka pindah ke kota-kota lain, barulah ijtihad mereka dilakukan secara perorangan (fardi).[31]

3. Awal Abad Kedua Sampai Pertengahan Abad Keempat  Hijriyah

Periode ini adalah periode para Imam Fikih yang memiliki pengaruh luas atau zaman Imam Mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Syafi`i, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad Ibn Hambal. Selain empat mazhab ini, ada mazhab-mazhab lainnya di dunia Sunni yang pernah dikenal dan kini telah lenyap, di antaranya yaitu: Mazhab Al-Auza’iy, Mazhab Ats-Tsauriy, Mazhab Al-Laitsiy, Mazhab Dhahiriy, dan Mazhab Ath-Thabariy.[32]

Lenyapnya mazhab-mazhab tersebut dari dunia Sunni karena disebabkan oleh beberapa hal, yang utama adalah tidak adanya pengikut mazhab tersebut yang menyebarkan secara gencar, meluas, dan mengakar di masyarakat Islam seperti pengikut mazhab yang empat.

Pada pertengahan abad keempat sampai jatuhnya Kota Baghdad di tahun 656 H, oleh para pengikut mazhab, hukum Islam ditetapkan melalui tarjih, yaitu dengan men-tarjih pendapat-pendapat yang bertentangan dalam mazhab.[33]

 

4. Pertengahan Abad Ketujuh Sampai Awal Abad Dua Puluh

Adapun pada zaman pertengahan abad ketujuh sampai awal abad dua puluh, terjadi apa yang disebut dengan pen-taklid-an, yaitu kewajiban untuk menyandarkan ijtihad kepada salah satu dari empat mazhab, dengan kata lain pintu ijtihad telah tertutup. Seseorang yang berijtihad untuk menetapkan suatu hukum tanpa bersumber dari salah satu empat mazhab tersebut telah dianggap bid`ah.[34] Dalam tingkatan mujtahid sebagaimana yang dijelaskan di atas, mujtahidmujtahid yang muncul pada zaman ini kebanyakan adalah muhafiz dan muqallid. Sehingga, tidak ada yang baru pada zaman tersebut, selain pemikiran-pemikiran atau pendapat yang semakin memperkuat salah satu dari empat mazhab tersebut.[35]

 

5.  Abad Dua Puluh Sampai Sekarang

Seiring dengan kemajuan zaman dan semakin tingginya peradaban umat manusia yang ditandai banyaknya penemuan-penemuan baru di segala aspek kehidupan yang tidak pernah ada di zaman sebelumnya. Terkadang, penemuan-penemuan tersebut membentur persoalan-persoalan yang telah ditetapkan oleh syari`at maupun fikih. Namun, terkadang pula penemuan-penemuan tersebut membutuhkan jawaban dari syari`at Islam, khususnya dari ketetapan fikih karena sudah menyangkut kepentingan umat Islam secara luas. Misalnya, seperti hukum bayi tabung, bank, obligasi, cangkok organ tubuh, menikah melalui telepon, dan sebagainya.[36]

Dengan keadaan seperti di atas, dan agar syari`at Islam tetap menjadi jawaban bagi persoalan umat manusia sampai akhir zaman, Fuqaha yang dipelopori ulama Mesir menggalakkan ijtihad dengan merujuk pendapat ulama Hambaliyah bahwa tidak boleh ada periode kosong dari seorang mujtahid yang memenuhi persyaratan-persyaratan ijtihad mutlaq.[37] Bahkan Prof. Muhammad Abu Zahrah, seorang ulama Mesir terkemuka, mengatakan:

“Sulit dimengerti mengapa ada orang yang dengan mudah menutup pintu ijtihad yang telah dibuka oleh Allah untuk lapangan akal. Kalaulah ia berpendapat demikian, mana dalilnya, dan mengapa ia melarang orang lain sementara memperbolehkannya untuk dirinya sendiri. Penutupan pintu ijtihad akan menjauhkan masyarakat dari sumber-sumber hukum Islam yang pertama: al-Kitab, as-Sunnah dan peninggalan-peninggalan salafus shalih, sehingga membawa mereka yang berlebihan dalam bertaqlid kepada suatu pandangan bahwa penafsiran al-Qur`an dan al-Hadits tidak perlu lagi setelah tertutupnya pintu ijtihad.”[38]

Maka di zaman sekarang ini, ijtihad sudah menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dengan umat Islam itu sendiri. Bahkan banyak fatwa-fatwa yang merupakan hasil ijtihad dihasilkan  dengan nuansa lokal yang sangat kental. Hal ini dikarenakan umat Islam tidak lagi hidup dalam sistem kekhalifahan (satu pemerintahan), tetapi dengan konsep negara bangsa (nation-state), terlebih Islam telah dipeluk oleh banyak etnis, bangsa, dan dengan banyak kepentingan politik, sosial, dan ekonomi. Sehingga, mau tidak mau, sangat mempengaruhi Islam dari segi kebudayaan dan peradaban dan juga mempengaruhi ijtihad yang dihasilkan.

 

F. Pembahasan Hasil Penelitian

“Kekinian” secara etimologi adalah “keadaan kini atas sekarang”.[39] Mengacu pada definisi ini, kata ini tidak bisa digunakan untuk menunjukkan waktu yang statis. Tidak seperti tanggal atau tahun yang bisa kita lewati, lalu manjadi lampau. Kini akan selalu mengandaikan sesuatu yang baru. Kini selalu berjalan mengarah ke depan. Di sinilah kini akan selalu baru. Seiring dengan perjalanan waktu, kini akan senantiasa menemukan sesuatu yang baru yang tidak akan usang.

Ini berati kini adalah kata yang berhubungan dengan waktu, meski demikian kata ini tidak menujukkan kata waktu tertentu, seperti tanggal 1 Juni 2006, tanggal 3 Agustus 2006 yang kelak akan menjadi waktu usang. Kini tidak mengenal masa depan, juga tidak mengenal masa lampau. Kini hanya mengenal waktu sekarang. Ini berarti kini selalu berjalan linier mengarah ke depan. Pada perjalanan itulah persoalan-persoalan baru akan ditemui. Persoalan yang sebelumnya tidak ada, hingga tidak diputuskan oleh para ulama lampau.

Di sinilah peran ulama masa kini untuk menyumbangkan pemikirannya untuk menjawab masalah yang ada. Dengan demikian mutlak pada setiap masa mujtahid pastilah ada. Baik mujtahid yang menentukan masalah secara parsial, yakni sebatas merumuskan hukum yang belum diputuskan oleh ulama sebelumnya, atau secara holistis dengan mempertanyakan keputusan ulama sebelumnya.

Sebagai contoh adalah persoalan bank.[40] Bank adalah lembaga yang baru muncul pada akhir abad ke-15, yaitu pada saat dunia Islam telah menutup pintu ijtihad. Kemudian, bank menjadi sebuah lembaga yang begitu kompleks sistem operasionalnya pada saat sekarang ini. Kemudian, muncul persoalan mengenai bunga bank, apakah haram atau halal.[41]

Jika para ulama Fikih mencari hukumnya pada sumber-sumber terdahulu, maka tidak akan ada fatwa atau hasil ijtihad tentang bunga bank. Karena hal ini sangat dibutuhkan oleh umat Islam, maka ulama Fikih yang tergabung di dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID)  pada bulan Mei 1965 berkumpul di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir untuk melakukan ijtihad dan kemudian mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank adalah haram.[42]

Keputusan ini merupakan keputusan yang penting dan dibutuhkan umat Islam se dunia karena pada waktu itu dan sampai saat ini mayoritas umat Islam dalam menjalankan aktifitas sehari-harinya tidak terlepas dari bank, sebuah lembaga yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah saw. sampai zaman tertutupnya pintu ijtihad. Dan dengan ketetapan tersebut, mulailah umat Islam mengembangkan bank tanpa bunga atau yang disebut dengan Bank Syari`ah.[43]

 

F. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa  ijtihad membutuhkan waktu, sementara persoalan umat datang silih berganti tanpa mengenal waktu. Karenanya, ijtihad merupakan sesuatu yang tidak bisa dihentikan atau ditutup. Dengan kata lain,  ijtihad tetap memiliki urgensi, tetap diperlukan oleh umat Islam untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian yang datang silih berganti.

 Daftar Pustaka

Al-Qur’an Al-Karim.

Ali, Atabik dan A. Zuhdi Muhdlorh, Kamus Krapyak ‘Al-‘Ashri”, Yogyakarta: Pesantren Krapyak, 1996.

Ali, M. Sayuthi, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek, Jakarta: Rajawali, 2002, Cet. ke-1

Antonio, Muhammad Syafi`i, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press – Tazkia Cendekia, 2001, Cet. ke-II.

Aziz, Abdul, Islam dan Masyarakat Betawi, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2002, Cet. ke-I.

Dahlan, Abdul Aziz  (ed.) et.al., Idrisiah”, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, Cet. Ke-VIII.

Dahlan, Abdul Aziz  (ed.) et.al., Ijtihad”, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, Cet. Ke-VIII.

Ghazali al-, Imam, Al-Mustashfa, juz 2.

Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, 2001, Cet. ke-III.

Hornby, AS, Oxford Advanced Learner`s Dictionary of Current English, New York: Oxford University Press, 1995, Fifth Edition.

Junaedi, Transaksi Jual Beli Saham dan Obligasi di Pasar Modal Indonesia Ditinjau dari Segi Hukum Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1995, Cet. ke-II.

Kamus Munjid.

Khallaf, Abdul Wahhab, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Bandung: Risalah, 1983, Cet. ke-I.

___________________, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), Jakarta:  Rajawali Pers, 1993, Cet. ke-III.

Mastuki, HS dan M. Ishom El-Saha (ed.), Intelektualisme Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003, cet ke-1.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet.ke-22.

Muhammad, Husein, KH., Tradisi Istinbath Hukum NU: Sebuah Kritik dalam buku M. Imdadun Rahmat (ed.), Kritik Nalar NU. Transformasi Paradigma Bahsul Masail, Jakarta: LAKPESDAM NU, 2002, cet. Ke-I.

Muhlis, Laporan Penelitian dan Penulisan Biografi KH. Muhammad Syafi`I Hadzami di Propinsi DKI Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Agama, Departemen Agama RI, Jakarta, 1989/1990.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagaamaan Pondok Pesantren “Al-Munawwir” Krapyak, 1984.

Na’im An-, Abdullahi Ahmed, Toward an Islamic Reformation Civil Liberies, Human Rights and International Law, (terj.) Ahmad Suedy dan Amiruddin Arrani, Yogyakarta: LKiS, 1994.

Narbuko, Cholid dan Achmadi, Abu, Metodologi Penelitian, Jakarta: 2005, Cet.ke-VII.

Partanto, Pius A dan  Al Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.

Rumadi, Al-Maslahat Al-Mursalat dalam pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Padang: Tesis IAIN Imam Bonjol, 1997.

Sayis, As-, Syekh Muhammad Ali, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 1996.

Shiddieqy, Ash-, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fikih, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999, Cet.ke-II.

Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993.

Syatibi, Asy-, Abu Ishaq, Al-Muāfaqāt fî Ushūl Asy-Syarî`ah, Beirut-Libanon: Dār Al-Ma`rifah, t.t., Juz IV.

Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, cet. Ke-II.

Yahya, Ali, K.H.M. Syafi`i Hadzami: Sumur yang Tak Pernah Kering, Jakarta: Yayasan Al-`Asyirotusy-Syafi`iyyah,  1999, Cet. ke-1.

Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung: Al-Maarif, 1986.

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fikih, Saefullah Ma’sum (terj.), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Endnote:

[1] Ibid.

[2] Syekh Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1996), h. 191.

[3] Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), Cet. ke-6, h. 579.

[4] Pada awal abad 20 terjadi perkembangan penting, walaupun masih dalam kerangka fikih. Perkembangan itu semakin jelas setelah ulama-ulama Indonesia kembali dari pusat-pusat fikih di Timur Tengah, sehingga pemahaman fikih mereka semakin mendalam. Dalam kaitan ini, Amir Syarifuddin mengatakan: “Walaupun pada mulanya umat Islam begitu terikat secara menyeluruh dengan pemikiran fikih Syafi’i, dalam perkembangan berikutnya terjadi beberapa bentuk perubahan. Secara rata-rata dapat dikatakan bahwa semua ulama yang telah kembali dari perguruan di Timur Tengah semakin kaya pengetahuan dan pengalamannya dengan berbagai mazhab fikih yang ada . Mata mereka lebih terbuka pada pemikiran fikih di luar paham Syafi’i . Namun dalam memanifestasikan pengetahuan fikih mereka ke dalam wujud nyata pengalaman ter lihat ada perbedaan. Keberanian semacam ini akan membawa implikasi penting terhadap apresiasi metodologis umat Islam Indonesia yang dimulai dari perguruan tinggi agama Islam, sehinggaa perkembangan fikih ke depan akan lebih bernuansa. Pergeseran ini dalam skala makro diharapkan mampu merubah orientasi kajian hukum Islam di Indoensia, dari orientasi fikih sebagai produk jadi kepasa ushul al-fiqh sebagai formulasi hukum.” Untuk penjelasan lebih jauh, lih. Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1993), h. 127. Penjelasan lebih jauh mengenai perkembangan hukum Islam ini, lih. juga Rumadi, Al-Maslahat Al-Mursalat dalam pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Padang: Tesis IAIN Imam Bonjol, 1997), h. 77-159.

[5] Kamus Munjid, h. 106.

[6] Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlorh, Kamus Krapyak ‘Al-‘Ashri”, (Yogyakarta: Pesantren Krapyak, 1996),  h. 27

[7] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagaamaan Pondok Pesantren “Al-Munawwir” Krapyak, 1984), h. 235.

[8] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, Saefullah Ma’sum (terj.), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 567.

[9] Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation Civil Liberies, Human Rights and International Law, (terj.) Ahmad Suedy dan Amiruddin Arrani, (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 53.

[10] Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muāfaqāt fî Ushūl Asy-Syarî`ah, (Beirut-Libanon: Dār Al-Ma`rifah, t.t.), Juz 4, h. 89.

[11] Ibid.

[12] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet.ke-7, h. 163.

[13] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Bandung: Risalah, 1983), Cet. ke-1, h. 162.

[14] Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1986), h. 373.

[15] Ibid, h. 165-167.

[16] Ahmad Hanfi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 165-167.

[17] Ibid.

[18] Abdul Aziz Dahlan (ed.) et.al., Ijtihad”, dalam Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), Cet. ke-8, h. 185.

[19] Ibid.

[20] Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 461.

[21] Ibid.

[22] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Pustaka, 2001), Cet.ke-3, h. 103.

[23] Abdul Wahhab Khallaf, op. cit., h. xxi.

[24] Muhamad Abu Zahrah, op. cit., h. 579.

[25] Ibid, h. 579-591.

[26]Ibid, h. 592.

[27] Abdul Aziz Dahlan (ed.) et.al.,  op. cit., h. 184.

[28] Syekh Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1996), h. 18-72.

[29] Ibid, h. 59.

[30] Abdul Aziz Dahlan (ed.) et.al. op. cit.

[31] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), Cet. ke-2, h. 43-44.

[32] Ibid., h. 128-131.

[33] Ibid, h. 128-131

[34] Syekh Muhammad Ali As-Sayis, op.cit., h. 180.

[35] Mengenai tema masalah ini, lihat lagi, tingkatan-tingkatan mujtahid pada halaman 17.

[36] Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1993), h. 127.

[37] Muhamad Abu Zahrah, op. cit.

[38] Ibid.

[39] Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), cet. Ke-2, h. 570.

[40] Bank adalah lembaga keuangan yang berfungsi sebagai mediator bagi pemilik modal dan yang tidak memiliki modal. Selain itu, bank juga berfungsi sebagai lembaga penyimpan modal; baik dalam bentuk uang, surat-surat atau barang-barang berharga. Muhammad Syafi`i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press – Tazkia Cendekia, 2001), Cet. ke-2, h. 66.

[41] Ibid.

[42] Ibid.

 

 

[43] Ibid.

Related posts

Leave a Comment